Jumat, 27 Juni 2014

Pelabuhan Cirebon 9 Januari 1947
















Data Meteorit yang Jatuh di Cirebon



Hampir seabad yang lalu, tepatnya pada tanggal 10 Juli 1922 sekitar pukul 22:35 waktu setempat, setelah muncul penampakan bola api dan suara ledakan, jatuh dua fragmen meteorit dengan berat total 15,5 kg dan bobot meteorit ini tercantum dalam "Katalog Meteorit" (Grady 2000) di wilayah Sindanglaut, Cirebon. Jatuhnya fragmen terkecil dengan berat 7,5 kg, terjadi di dekat Karangwareng. Peristiwa jatuhnya meteorit ini diiringi dengan suara gemuruh yang sangat besar dan terjadi hanya beberapa meter dari Bapak Darsan. Meteorit menabrak pohon pisang dan membelah menjadi dua dan akhirnya menghantam bumi membentuk cekungan sedalam sekitar satu kaki (12 inchi) dan lebar setengah kaki (6 inchi). Dua hari kemudian lubang bekas hantaman meteorit ke tanah yang kedua ditemukan oleh Bapak Tur di sawah sekitar 300 meter sebelah tenggara dari stasiun kereta api Karangsuwung, sekitar 0,5 km sebelah timur laut dari titik dampak lainnya. Lubang ini memiliki kedalaman 64 cm dan berisi meteorit yang beratnya 8 kg. Mungkin beberapa fragmen meteorit yang lainnya jatuh di laut, karena arah bola api didekat laut dari barat laut ke tenggara, menunjukkan sebaran fragmentasi yang meluas. Meteorit yang ditemukan ini adalah meteorit batuan, subtipe chondrite dari kelompok L dengan petrologi kelas 5 ("normal" chondrite dengan kadar besi rendah dan metamorfosis tingkat tinggi), FA24. Salah satu batu meteorit yang ditemukan tersimpan di museum Geologi Bandung.


Cilim
 Pada tanggal 7 Mei 1979 sekitar pukul 09:30 waktu setempat juga jatuh sebuah meteorit seberat 1,6 pound setelah kemunculan sebuah bola api dan suara ledakan di sebuah taman dekat Sampora, Cilimus. Meteorit yang ditemukan adalah meteorit berbatu, Chrondrite dari kelompok L kelas petrologi 5 (sebuah chrondrite 'biasa' dengan kadar besi yang rendah dan metamorfosis tingkat tinggi), Fa 24.0


Sumber:
Everwijn R. (1872), Yearbook Pertambangan di Hindia Belanda 1, 197-201.
K. Fredriksson & GS Peretsman (1982), Meteoritics 17, 78-86.
Gisolf WF (1924), Yearbook Pertambangan di Hindia Belanda 53, 168-180.
M. Grady (2000), Katalog Meteorit (5 th edition), Cambridge University Press.
LJC Van Es (1918), Yearbook Pertambangan di Hindia Belanda 47, 21-40.
RDM Verbeek (1886), Yearbook Pertambangan di Hindia Belanda 15, 145-171.

Proklamasi Pertama di Cirebon

Pada tanggal 16 agustus 1945 terjadi penempelan kertas selebaran di pohon-pohon pinggir jalan sepanjang jalan utama Desa Waled, Cirebon. Isi selebaran itu berupa pernyataan kemerdekaan, yang diatur oleh orang-orang gerakan bawah tanah, diprakarsai oleh dr. Sudarsono, Sugra, Sukanda, Rayati dan Kartamuhari. Mereka kemudian berpawai hingga Desa Ciledug dengan penduduk dari desa-desa sekitarnya sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan dan meneriakkan kata-kata "Merdeka!".
Bung Syahrir yang mengetahui bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 menyampaikan kabar tersebut kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Kedatangan Syahrir ke rumah Hatta pada tanggal 15 Agustus pukul dua siang itu membuat Hatta agak terkejut karena pemberitahuan Syahrir. Syahrir minta agar proklamasi segera dilakukan. BUng Hatta sangsi apakah ia bisa melakukannya bersama Bung Karno sebelum diperoleh kepastian dari pihak Jepang sendiri. Bung Karno yang ditemui di Pegangsaan Timur 56 merasa tidak berhak bertindak sendiri karena itu adalah hak dan tugas PPKI. Menurut pengakuan Subadio Sastrosatomo, Syahrir nampak marah sekembalinya menghadap Bung Karno dan Bung Hatta. Petang itu pula Subadio dan Subianto Djojohadikusumo disuruh menghubungi kembali Bung Hatta, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya, tidak bisa bertindak tanpa Bung Karno.
Pada tanggal 16 Agustus sekitar pukul 03.00 dini hari, waktu orang sedang makan sahur, Sukarno dan Hatta diajak Sukarni dan kawan-kawan dari barisan pemuda ke Rengasdengklok, Karawang. Bersamaan dengan itu, Sutan Syahrir mengirim kurir untuk membaw teks proklamasi ke wilayah yang memiliki jaringan gerakan bawah tanah. Menurut Ny. Poppy Syahrir sebelum Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, Bung Syahrir telah menyusun naskah teks proklamasi dan disetujui oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Ibu Poppy mengutip pernyataan Sutan Syahrir ketika diwawancarai oleh "Star Weekly" sebuah mingguan di Jakarta sebagaimana yang diingat (baca harian "Terbit", Jum'at 24 April 1986,"Teks Proklamasi Pertama dibacakan di Desa Waled").
Kegagalan mendesak Bung Karno dan Bung Hatta menyebabkan pengiriman naskah lewat kurir tidak bisa memberitahukan perubahan/penundaan saat proklamasi. "Cirebon mungkin satu-satunya tempat dimana orang-orang gerakan bawah tanah membacakan teks proklamasi tersebut dan ini dibacakan oleh dr. Sudarsono (Mendagri dalam Kabinet Syahrir)", kata Ny. Poppy. Wartawan tiga zaman, H. Rosihan Anwar, pernah juga menulis di Pos Kota tanggal 8 Juni 1976 (dua hari setelah wafatnya dr. Sudarsono) bahwa dr. Sudarsono adalah Proklamator di Cirebon. Sutan Syahrir juga mengungkapkan hal itu dalam buku "Out of Exile" terbitan John Day Company New York tahun 1949, yang berisi kumpulan Surat-surat Sutan Syahrir ketika ia dibuang di Boven Digul.
Menurut Kusnaini, mantan anggota KNIP dan Wakil Residen Jakarta yang berkedudukan di Subang sejak tahun 1946-1950, "Proklamasi di Waled lebih dulu dibanding Cirebon, karena boleh dikata Waled yang memulai kemudian Cirebon menyusul. Menurut Sukanda, mantan anggota KNIP dan anggota gerakan bawah tanah Cirebon, sejak tahun 1932 Syahrir telah menjalin hubungan dengan Cirebon, khususnya desa Waled dan memiliki jaringan gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh Sugra dan dr. Sudarsono. "Keduanya memang tidak bisa dipisahkan dan keduanya pernah menjadi anggota Jong Java". "Sudarsono bersama saya ketika menerima teks proklamasi dari Sutan Syahrir. Kami berdua yang membawanya ke Cirebon". "Naskah diperbanyak di waled dan mengerahkan anggota KRI (Koperasi Rakyat Indonesia) untuk memasangnya, termasuk memasang bendera merah putih. Bendera itu dipasang sampai Majalengka dan seluruh Karesidenan Cirebon. Sesudah itu banyak orang ditangkap, termasuk Ki Munirah di Jatiwangi yang ikut menyuruh pasang bendera merah putih. Sudarsono juga ditangkap Jepang tapi kemudian dibebaskan karena didemonstrasi rakyat". Ny. Sudarsono dan Ny. Poppy Syahrir juga membenarkan bahwa ada proklamasi di Cirebon pada tanggal 16 Agustus 1945 dan banyak kertas plakat yang ditempel di pohon-pohon sepanjang jalan. 

     Syahrir, Suwandi, dan Sudarsono


Sejarawan Amerika dari Cornell University, George Kahin, yang menulis buku "Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (1945)" menulis dalam bukunya bahwa Proklamasi di Cirebon itu terlalu dini. Sementara itu Subadio Sastrosatomo, bekas anggota KNIP yang meminjamkan pulpennya kepada Sutan Syahrir untuk menulis naskah teks proklamasi tersebut mengatakan hal itu berlangsung pada tanggal 15 Agustus 1945 di rumah Syahrir di Jl. Maluku, Jakarta Pusat.("Terbit" 30 April 1986, "Peristiwa Rengasdengklok lebih penting dari Cirebon"). Subadio mengatakan naskah tersebut ditandatangani Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Syahrir. Ketika Sutan Syahrir menemui Bung Karno dan Bung Hatta, Subadio menghubungi golongan pemuda untuk mempersiapkan upacara kemerdekaan. Sore hari tanggal 15 itulah Subadio menyaksikan saat Syahrir dalam keadaan amat marah. Bung Karno dan Bung Hatta tetap tidak mau memproklamirkan kemerdekaan secepat yang diminta Syahrir. Padahal Syahrir telah mengirim salinan naskah proklamasi itu lewat kurir ke daerah yang memiliki jaringan gerakan bawah tanah. Ditambah Bung Karno dan Bung Hatta malam harinya diculik "Pemuda Menteng 31" upaya Syahrir untuk memberitahukan penundaan pembacaan proklamasi tidak lagi terburu. Jadilah di Cirebon ada proklamasi tanggal 16 Agustus 1945 Teks proklamasi buatan Syahrir tersebut tak demikian jelas di mana sekarang adanya.
Dalam buku Rudolf Mrazek berjudul Sjahrir, Syahrir mengatakan teks proklamasinya diketik sepanjang 300 kata. Teks itu bukan berarti anti-Jepang atau anti-Belanda. "Pada dasarnya menggambarkan penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang dan rakyat Indonesia tidak mau diserahkan ke tangan pemerintahan kolonial lain," kata Syahrir seperti ditulis dalam buku Mrazek. Syahrir pun mengatakan kehilangan teks proklamasi yang disimpannya.
Selain mempersiapkan proklamasi, Syahrir dengan semangat tinggi mengerahkan massa menyebarkan "virus" proklamasi. Stasiun Gambir dijadikan arena untuk berdemonstrasi. Stasiun radio dan kantor polisi militer pun sempat akan diduduki. Kala itu, Des Alwi dan sekelompok mahasiswa bergerak hendak membajak stasiun radio Hoosoo Kyoku di Gambir agar teks proklamasi tersebar. Usaha tersebut gagal karena Kenpeitai menjaga rapat stasiun radio tersebut.
Tapi simpul-simpul gerakan bawah tanah terus bergerak cepat, menderu-deru dari satu kota ke kota lain, menyampaikan pesan Syahrir. Dan keinginan Syahrir agar proklamasi Indonesia segera didengungkan itu pun sampai di Cirebon.


TUGU berwarna putih dengan ujung lancip menyerupai pensil itu berdiri tegak di tengah jalan di dekat alun-alun Kejaksan, Cirebon. Tugu yang sama, dengan tinggi sekitar tiga meter, menancap di halaman Kepolisian Sektor Waled di kota yang sama.

Kamis, 26 Juni 2014

Kreasi Budaya Nelayan Cirebon Tempo Doeloe

Perahu yang digunakan nelayan di daerah sekitar Cirebon berdasarkan bentuknya yang khas pada umumnya terbagi menjadi tiga kelompok: 
a. Sampan jenis Mayang, terbuat dari lembaran kayu yang dibentuk dan pada ujung-ujungnya dibuat melengkung ke atas.
b. Sampan yang terbuat dari lembaran kayu, tapi tanpa haluan dan buritan yang dibentuk tersebut. 
c. Sampan dari jenis Jukung, yaitu seluruhnya atau sebagian besar terbuat dari batang pohon yang dilubangi dan biasanya dengan sayap. 
Nama-nama sampan atau perahu sering mengalami kerancuan, jadi kadang-kadang sampan yang sama tapi disebut berbeda di daerah tetangganya yang lain. Nama yang diberikan kepada perahu dari jenis Mayang adalah Mayang (Mayangan, Permajangan), Bese, Konting, Menting, Kolek, Kolekan, Potik dan lain-lain. Sedangkan perahu yang jenis kedua di Cirebon namanya adalah: Bingkung (ukurannya sama bear dengan type Mayang). Untuk perahu jenis Jukung, di Cirebon disebut juga dengan nama Compreng.
Nelayan biasanya mencari ikan dengan cara memancing atau sesuatu yang sebanding, seperti menjaring. Untuk mendapatkan ikan yang besar yang digunakan adalah jaring laut terbuka (Payang) atau jaring yang sebanding sesuai dengan ukuran tangkapan yang diharapkan. Jaring ini terdiri dari perangkap dengan dua sisi mengapung dan pemberat yang diperlukan, dan secara keseluruhan diikat bertautan; hanya ujung perangkap kadang-kadang terbuat dari Lawe atau rami, atau, pada saat mencari ikan yang lebih kecil semacam "ikan teri" (Engraulis) yang digunakan jala khusus semacam tukol atau dogol yang rumit yang disebut waring. Selain menangkap ikan dengan Payang, kadang digunakan 'Penter' atau 'Tendak', yaitu daun kelapa yang panjang yang diikat tali dan di salah satu ujungnya yang lain diikat ke bambu yang terapung dan dengan cara ini ikan akan bersembunyi di daun kelapa sehingga terjebak. Bilamana alat ini tidak digunakan, para pencari ikan akan menyelam untuk mendeteksi keberadaan ikan yang berkumpul. Jenis Payang kecil disebut Payang Cantrang atau Jaring Potol yaitu jaring seperti payang tetapi dengan jerat yang lebih kecil dan waring terbuat dari bahan katun, biasanya digunakan di tempat-tempat dangkal dan terutama dekat pantai dan dikenal dengan nama Krakat, Rompek, Bondet dll. Sudah sangat umum nelayan Cirebon pada masa dulu menggunakan jaring-jaring (Jaring Melayang atau Jaring Berdiri), menggunakan benang dari lawe atau rami, jaring diikat  tanpa karung, untuk menangkap ikan yang berseliweran.
Jenis-jenis jala yang biasa digunakan oleh para nelayan dalam mencari ikan di laut adalah Jaring Lempar (Jala atau dalam bahasa Babasannya adalah Jambet), Jaring Angkat (Anco, brandfang), Jaring Dorong (Waring) dan Jaring Serok (Seser) dan lain-lain. Waring biasanya digunakan untuk menangkap udang rebon di sepanjang pantai sebagai bahan untuk membuat terasi.

Gambar perahu type Mayang pada tanggal 7 Desember 1917


Gambar perahu type Bingkung sedang bersandar di pantai Mundu pada tanggal 12 Desember 1917. Desa Mundu berjarak lima pal ke arah timur Cirebon. Sampan ini diproduksi di desa Gebang yang juga terletak di sebelah timur Cirebon. Mereka menghabiskan waktu dan biaya sekitar 300 gulden untuk membuat perahu ini.


 Perahu type Jukung Besar


                                                            Perahu type Jukung Sedang


                                     Perahu type Jukung Kecil pada tanggal 5 September 1905


Perahu type Jukung Besar pada tanggal 5 September 1905


Perahu type Bingkung pada tanggal 5 September 1905


Perahu type Bingkung pada tanggal 5 September 1905


Perahu type Bingkung pada tanggal 5 September 1905


    
Perahu type Konting pada tanggal 5 September 1905


                                         Kedatangan perahu nelayan dari laut pada tahun 1910


                      Aktifitas bongkar muat di Pelabuhan Cirebon pada tanggal 16 Oktober 1947


Kantor Pelabuhan di komplek pelabuhan Cirebon yang tidak sempat mengalami kerusakan akibat Perang Revolusi, foto pada tanggal 27 Juli 1947.




Kamis, 19 Juni 2014

Penjara di Cirebon tahun 1942 - 1946


Penjara tua di Cirebon

Nama lain: Bui Lama, Pasisir-Gevangenis
Lokasi: Penjara tua berada di Pesisir di pusat kota.

Dari bulan Maret 1942 hingga September 1942 lokasi ini berfungsi sebagai sebuah kamp sipil.
Tawanan: laki-laki
Informasi: Pada mulanya, yang ditahan di penjara tua di Cirebon adalah pegawai sipil yang berkedudukan tinggi dan pejabat polisi. Dari Juli 1942 penjara juga menampung pria yang tidak bisa terus bekerja. Sebagian besar dari mereka dibawa pada bulan September ke penjara di Pekalongan.

Dari Oktober 1942 sampai Juni 1943 lokasi ini berfungsi sebagai sebuah kamp sipil.
Tawanan: wanita
Informasi: Pada bulan Oktober dan November, perempuan dan anak-anak dari Cirebon yang ditahan di penjara tua Cirebon itu. Pada bulan Desember mereka dikirim ke Kamp Karees di Bandung. Perempuan "Eropa" dan anak-anak yang berkumpul dalam penjara kemudian dibawa pada Juni 1943 ke Kamp Kramat di Jakarta.

Dari 1943 sampai Agustus 1945 lokasi ini berfungsi sebagai sebuah kamp sipil.
Tawanan: pria dan wanita
Informasi: Sejak awal tahun 1943, Bui Lama di Cirebon juga digunakan sebagai penjara untuk Layanan Informasi Politik: ada sekitar 40 pria dan wanita "Eropa" dan beberapa ratus tahanan politik pribumi dan Cina terkunci di sana.

Dari 23 Agustus 1945 sampai 4 Oktober 1945 lokasi ini berfungsi sebagai sebuah kamp ex-Jepang.
Tawanan: laki-laki
Jumlah interniran: 100
Informasi: Pada saat penyerahan Jepang ada sekitar 100 tahanan politik di penjara tua di Cirebon, termasuk 70 orang Eropa. Pada 4 Oktober 1945 mereka dibebaskan dan dibawa ke Ribberink Hotel. Pada hari-hari berikutnya mereka kembali ke rumah mereka.

Dari 18 Oktober 1945 sampai 3 Mei 1946 lokasi ini berfungsi sebagai sebuah kamp republik.
Tawanan: pria, wanita, dan anak-anak
Jumlah interniran: 1.200
Jumlah yang meninggal: 3
Informasi: Dalam paruh kedua bulan Oktober 1945, hampir 1.000 pria, wanita, dan anak-anak dari dalam dan di sekitar Cirebon dikurung di penjara tua di sana. Untuk jumlah yang ditambahkan sekitar 250 pria, wanita dan anak-anak yang semula berada di penjara di Kuningan. Penjara penuh sesak, dan karena itu air dari keran dan fasilitas mandi tidak mencukupi. Para interniran menerima 800 gram beras per orang per hari, dan kadang-kadang sedikit sayuran. Para interniran menjadi sasaran pencarian orang dan interogasi oleh pemuda. Tidak ada kemungkinan rekreasi, dan bernyanyi dilarang setelah pukul 18:00. Tidak ada pendidikan yang diberikan bagi anak-anak. Dalam rangka untuk mengurangi jumlah besar tawanan di penjara, pada awal November interniran dibawa ke tempat-tempat lain di Cirebon. Pada bulan Desember komite bantuan melihat ketentuan makanan yang lebih baik: daging, telur, dan sayuran ekstra menjadi tersedia. Pada akhir April dan awal Mei 1946, pria, wanita dan anak-anak dievakuasi dari penjara dan dibawa ke Kamp Kramat di Jakarta.
Penjaga: Polisi, pemuda, Pelopor
Pemimpin Kamp: mw. Leidelmeyer



                                                    The Grand Hotel Ribberink Cirebon

Grand Hotel di Cirebon
Nama lain: Hotel-Kamp, Cangkol-Kamp
Lokasi: The Grand Hotel Cirebon berada di pusat kota.

Dari 18 November 1945 sampai 4 Mei 1946 lokasi ini berfungsi sebagai sebuah kamp republik.
Tawanan: pria, wanita, dan anak-anak
Jumlah interniran: 385
Informasi: Dalam rangka untuk mengurangi jumlah besar tawanan di penjara tua di Cirebon, pada awal November 1945 beberapa dari mereka dikirim ke Grand Hotel Cirebon. Ada orang-orang tidur di lantai, karena hanya ada beberapa tempat tidur. Makanan yang terdiri dari 800 gram beras per orang per hari, dan kadang-kadang sedikit sayuran. Pada bulan Desember komite bantuan melihat ketentuan makanan yang lebih baik: daging, telur, dan sayuran ekstra menjadi tersedia. Tidak ada kemungkinan rekreasi, dan bernyanyi dilarang setelah pukul 18:00. Suster Devos menyelenggarakan klinik medis kecil, namun tidak ada obat-obatan atau persediaan perban. Sakit parah dibawa ke rumah sakit. Pada akhir April dan awal Mei, interniran dievakuasi ke Kamp Kramat di Jakarta.
Pemimpin Kamp: mw. Leidelmeyer



Kolektoran di Cirebon
Nama lain: 's Lands Kas, Ontvanger der Belastingen
Lokasi: Bangunan Kolektor Pajak berada di pusat kota.

Dari 8 Nov 1945 sampai 4 Mei 1946 lokasi ini berfungsi sebagai sebuah kamp republik.
Tawanan: pria, wanita, dan anak-anak
Jumlah interniran: 265

Informasi: Dalam rangka untuk mengurangi sejumlah besar tawanan di penjara tua di Cirebon, pada awal November banyak dari mereka dibawa ke gedung Kolektor Pajak (Kolectoran). Mereka ditempatkan di kamar di sisi kiri dan kanan dari koridor pusat. Makanan terdiri dari 800 gram per orang per hari, kadang-kadang dengan sedikit sayuran. Pada bulan Desember komite bantuan melihat ketentuan makanan yang lebih baik: daging, telur, sayuran dan tambahan menjadi tersedia. Tidak ada kemungkinan rekreasi, dan bernyanyi dilarang setelah pukul 18:00. Pada akhir April dan awal Mei, interniran dievakuasi ke Kamp Kramat di Jakarta.

Minggu, 15 Juni 2014

Album Cirebon Jaman Doeloe

Sebuah lapangan di Cirebon pada tahun 1935

Pusat kota Cirebon pada tahun 1935, foto koleksi Charles Olke van Der Plas

Grand Hotel Ribberink Cirebon, tahun 1932

Kantor Kepolisian Cirebon, tahun 1910

Kantor Pos dan Telegraf Cirebon

Kantor Pabeyan Cirebon, foto ini dikirimkan pada tanggal 1 April 1912

Kali Kesunean Cirebon, sekitar tahun 1900-an

Setasiun Kereta Api Kejaksan yang dirancang oleh P.A.J. Moojen sekitar tahun 1913 -1916, tak lama setelah pembukaan.

Jalan Pengampon, Cangkol, Cirebon, sekitar tahun 1900-an







Sabtu, 14 Juni 2014

Sejarah Perbedaan Madzhab dan Pengikutnya di Cirebon



Di pulau Jawa, ada tiga madzhab Islam yang terbilang besar dan banyak penganutnya, yaitu: Madzhab Hanafi, Madzhab Syafi’I, dan Madzhab Syi’ah.
1.     Yang menganut Madzhab Hanafi, di antaranya adalah:
-         Sunan Ampel Denta
-         Sunan Bonang
-         Sunan Giri
-         Sultan Demak Raden Patah
-         Pangeran Sabrang Lor
-         Syeh Quro Karawang
-         Syeh Majagung
-         Raden Sepat
-         Sunan Kudus
-         Arya Penangsang
-         Syeh Bentong dll
2.     Yang menganut Madzhab Syafi’i, di antaranya adalah:
-         Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
-         Fadillah Khan
-         Maulana Ishak
-         Syeh Datuk Kahfi
a.     Murid-muridnya Susuhunan Jati, yaitu:
-         Ki Gedeng Bungko
-         Ki Gedeng Krangkeng
-         Ki Gedeng Mundu atau Ki Lobana
-         Ki Gedeng Babadan Buyut Kalisapu
-         Tumenggung Jaya Orean
-         Ki Buyut Pekik
-         Ki Gedeng Dermayu
-         Ki Buyut Karang Ampel
-         Ki Gedeng Ujung Semi
-         Ki Gedeng Bayalangu
-         Ki Gedeng Gegesik
-         Nyai Gedeng Panguragan
-         Ki Gedeng Pejaran
-         Ki Gedeng Sindangkasih
-         Ki Gedeng Luragung atau Ki Gedeng Kemuning
-         Ki Gedeng Tegal Gubug
-         Ki Gedeng Buntet
-         Dipati Keling
-         Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedanglarang)
-         Pangeran Muhammad
-         Ki Gedeng Losari
-         Pangeran Luwung
-         Pangeran Welang
-         Tumenggung Jayabaya (Senapati Pajajaran)
-         Ki Gedeng Jati Merta
-         Ki Selapandan
-         Dipati Sukawijaya
-         Dipati Selanunggal
-         Ki Waru Angga
-         Ki Serayudha
-         Demang Anggapati
-         Dipati Anom
-         Pangeran Raja Laut
-         Ki Gedeng Sembung
-         Pangeran Makdum
-         Ki Gedeng Tameng
-         Ki Gedeng Kagiren
-         Ki Buyut Cangkring
-         Pangeran Losari
-         Ki Gedeng Srengseng
-         Ki Gedeng Pekandangan
-         Ki Gedeng Panjalu
-         Ki Gedeng Sindang Kempeng
b.     Para Ki Gedeng dan para Mentri
c.      Yang memegang kekuasaan wilayah di Leuwi Munding, Kawali, Talaga, Cikijing, Luragung, Kuningan, Dayeuh Luhur, Pasir Luhur dll
3.     Yang menganut Madzhab Syi’ah, di antaranya adalah:
a.     Yang menjadi murid-muridnya Syeh Abdul Jalil (Syeh Siti Jenar), yaitu:
-         Ki Kebo Kenongo (Bupati Pengging)
-         Pangeran Penggung
-         Sunan Geseng
-         Ki Lontang
-         Ki Datuk Pardun (dari Keling, anaknya Syeh Abdul Jalil)
-         Jaka Tingkir
-         Ki Ageng Butuh (Ki Mas Manca)
-         Ki Gedeng Palu Amba
-         Ki Gedeng Junti
-         Ki Gedeng Lemah Putih
-         Pangeran Jagasatru
-         Ki Gedeng Tedeng
-         Ki Anggaraksa
-         Ki Buyut Kalijaga
-         Ki Gede Sampiran
-         Ki Gedeng Cirebon Girang
-         Pangeran Cirebon (anaknya Pangeran Cakrabuana)
-         Ki Buyut Weru
-         Ki Buyut Kemlaka
-         Buyut Truwag
-         Buyut Tukmudal
-         Dipati Cangkuang (Garut)
-         Pangeran Panjunan
-         Syeh Duyus Kani (Pangeran Kejaksan)
-         Pangeran Kejawanan
-         Pangeran Cuci Manah
-         Ki Gedeng Ujung Gebang
-         Dipati Suranenggala
-         Ki Gedeng Panguragan
-         Ki Buyut Kedongdong
-         Ki Gedeng Ender
-         Ki Gedeng Bojong, dll

Sesungguhnya dari ketiga madzhab ini sering berselisih, terutama diawali karena saling berebut murid dan berebut pengaruh. Tapi yang membuat goncang terhadap yang lain adalah perkembangan madzhab Syi’ah. Untuk menghadapi madzhab Syi’ah, antara madzhab Hanafi dan madzhab Syafi’i mau tidak mau menjadi satu.