Sabtu, 31 Mei 2014

Sejarah Cirebon versi Tionghoa

Catatan ini berasal dari buku karya Ir. Mangaradja Onggan Parlindungan yang diterbitkan pada tahun 1964 atau 8 tahun sebelum Carita Purwaka Caruban Nagari diterbitkan oleh Drs. Atja, yang mana buku tersebut bejudul Tuanku Rao. Naskah ini menjadi lampiran dalam buku tersebut. Parlindungan menyatakan bahwa ia menerima bahan-bahan buku itu dari orang Belanda yang bernama Poortman yang naskah aslinya berasal dari arsip kelenteng Talang di Cirebon. Catatan ini juga sudah dipakai oleh Mr. Slametmuljana dalam bukunya tentang munculnya negara-negara Islam di Indonesia yang berbahasa Indonesia pada tahun 1968 yang dilarang beredar pada masa Orde Baru, dan diterbitkan dalam bahasa Inggeris dengan judul A Story of Majapahit. De Graaf dan Pigeaud, 2 pakar sejarah dari Belanda menyatakan bahwa ketika pertama kali membaca naskah ini merasa asing dan mengabaikannya akan tetapi kemudian menganggap naskah tersebut sebagai objek studi yang berguna. Sedangkan  M.C. Ricklefs menyatakan bahwa kehati-hatian jelas sangat dituntut, menerima semua bagian dalam naskah ini secara apa adanya merupakan tindakan yang bodoh. Isi naskah tersebut adalah sebagai berikut:

Pemukiman Cina Pertama di Gunung Jati, Cirebon
1415
Laksamana Haji Kung Wu Ping, keturunan dari Kong Hu Cu (Confusius) mendirikan menara mercusuar di atas bukit Gunung Jati. Tidak jauh dari situ dibangun pula Komunitas Muslim Cina Hanafi, yaitu di Sembung, Sarindil dan Talang. Masing-masing lengkap dengan masjidnya. Kampung Sarindil ditugaskan menyediakan kayu jati untuk perbaikan kapal-kapal. Kampung Talang ditugaskan untuk memelihara dan merawat pelabuhan. Kampung Sembung ditugaskan  memelihara mercususar. Secara bersama-sama, ketiga kampung Tionghoa Islam Hanafi itu ditugaskan pula memasok bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal Tiongkok dinasti Ming. Pada waktu itu, daerah Cirebon penduduknya masih jarang tetapi tanahnya sangat subur karena terletak di kaki gunung Ciremai.
1450 - 1475
Sebagaimana pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah, di daerah Cirebon pun Komunitas Cina Muslim Hanafi sudah sangat merosot karena sudah putus hubungan dengan Tiongkok Daratan. Masjid Sarindil sudah menjadi pertapaan karena masyarakat Tionghoa Islam Hanafi di situ sudah tidak ada lagi, sedangkan masjid di Talang sudah menjadi kelenteng. Sebaliknya, Masyarakat Tionghoa Islam Hanafi di Sembung sangat berkembang dan sangat teguh imannya di dalam agama Islam.
Supposition: Pada waktu itu perkembangan di Sembung sama seperti di Bagan Siapi-api, Pattani dan Sambas yaitu masyarakat Tionghoa yang terisolasi tetap beragama Islam Hanafi dan tetap menggunakan bahasa Tionghoa untuk mengerjakan ibadah wajib/fardhu.
Ekspansi Kekuasaan Demak di Jawa Barat
1526
Armada dan tentara Islam Demak singgah di pelabuhan Talang. Ikut serta dalam armada itu seorang Tionghoa Muslim peranakan yang pandai bahasa Tionghoa bernama Kin San. Panglima tentara Demak (=Syarif Hidayat Fatahillah) serta Kin San dari Talang pergi ke Sarindil, tempat bertapa Haji Tan Eng Hoat, Imam Sembung. Bersama Haji Tan Eng Hoat, tentara Islam Demak secara damai memasuki Sembung. Atas nama Raja Islam Demak, Panglima Tentara Demak memberikan gelar kepada Haji Tan Eng Hoat, Imam Sembung. Bunyi gelar itu, "Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi". Tentara Demak kembali ke kapal dan berlayar ke barat. Kin San satu bulan bertamu pada Haji Tan Eng Hoat.
Supposition: Sultan Trenggana memberikan gelar "Maulana-Ifdil Hanafi" kepada Haji Tan Eng Hoat. Dengan demikian, Jafar Sadik gelar Sunan Kudus mengizinkan Haji Tan Eng Hoat dkk, di daerah Cirebon tetap beragama Islam Madzhab Hanafi dengan  terus menggunakan  bahasa Tionghoa dalam menjalankan ibadah fardhu. Mereka tidak dipaksakan harus beralih ke madzhab Syafi'i yang ibadah fardhunya harus menggunakan bahasa Arab. Pintar sekali Sunan Kudus!
Berdirinya Kesultanan Cirebon
1552
Setelah seperempat abad, Panglima Tentara Demak datang lagi ke Sembung. Sendirian tanpa tentara. Haji Tan Eng Hoat terheran-heran. Kabarnya, Panglima Tentara Demak pernah menjadi Raja Islam di Banten. Dia sangat kecewa mendengar pembunuhan-pembunuhan dikalangan keturunan Jin Bun di Demak. Dia pun tidak mau tunduk kepada Sultan Pajang, karena di Kesultanan Pajang, Madzhab Syi'ah sangat berpengaruh. Bekas Panglima Tentara Demak katanya seterusnya hendak bertapa seumur hidup di Sarindil. Haji Tan Eng Hoat menceritakan bahwa masyarakat Tionghoa Islam di Sembung pun sudah sejak 4 generasi putus hubungan dengan Yunnan yang Islam. Sebaliknya, orang-orang Tionghoa keturunan Hokkian yang bukan Islam sudah sangat kuat di daerah Cirebon. Haji Tan Eng Hoat sendiri adalah keturunan Hokkian yang cuma sangat sedikit sekali yang mau masuk Islam. Haji Tan Eng Hoat meminta kepada bekas Panglima Tentara Demak supaya membimbing masyarakat Tionghoa Islam di Sembung mendirikan suatu Kesultanan sebagaimana Jin Bun di Demak dahulu. Tidak ada jalan lain untuk menjamin masyarakat Tionghoa dan madzhab Hanafi, kecuali melepaskan diri dari Demak. Walaupun sudah tua, bekas Panglima Tentara Demak itu menerima permintaan itu.
1552 - 1570
Dengan bantuan masyarakat Islam Tionghoa Sembung, bekas Panglima Tentara Demak itu mendirikan Kesultanan Cirebon yang berpusat di tempat Keraton Kesepuhan sekarang. Sembung ditinggalkan dan menjadi pekuburan Islam. Penduduk Sembung boyong sedesa dan dengan nama-nama Islam dan nama-nama Indonesia asli menempati kota Cirebon yang baru muncul. Sultan Cirebon yang pertama tentu saja bekas Panglima Tentara Demak sendiri. Dia segera membentuk tentar Islam dari bekas penduduk Sembung. Orang-orang Tionghoa yang non-Islam terpaksa tunduk kepada Tentara Tionghoa Islam Cirebon yang baru dibentuk itu.
1553
Supaya ada Ibu Negara di Kesultanan Cirebon yang baru tampil itu, maka Sultan Cirebon pertama (yang sudah lanjut usianya) menikah dengan putri Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi. Dari Sembung, penganten putri diarak ke Keraton dengan kebesaran, seolah-olah dari istana kaisar-kaisar Tiongkok Dinasti Ming pada zaman Laksamana Haji Sam Po Bo. Sang putri dikawal oleh sepupunya, Tan Sam Cai....(penyunting!)
Catatan: Di dalam hal memberangkatkan seorang penganten wanita, orang-orang Batak jauh lebih parah daripada siapapun di Indonesia. Dari rumah ke rumah di Mentang Pulo, suatu kerajaan di Mandailing ke suatu kerajaan di Sipirok. Horas, horas, horas. Semua orang sangat bahagia, menunggu rendang daging kerbau yang jauh lebih enak daripada rendang daging sapi.
1553 - 1564
Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi dengan gelar Pangeran Adipati Wirasenjaya menjadi Raja Muda bawahan Kesultanan Cirebon. Secara de jure berkuasa sampai ke Samudera India, secara de facto berkedudukan di dekat Kadipaten. Dari situ beliau sangat berjasa dalam mengembangkan agama Islam Madzhab Syafi'i dalam bahasa Sunda di pedalaman Priangan Timur sampai ke Garut.
1564
Haji Tan Eng Hoat wafat di dalam ekspedisi militer merebut kerajaan Galuh yang beragama Hindu. Jenazahnya dimakamkan di daerah Galuh, di sebuah pulau di tengah suatu danau.
Catatan: Nama danau itu tidak disebutkan di dalam catatan klenteng Talang....(catatan penyunting). Diduga itu salah satu danau-danau kecil yang jumlahnya sangat banyak di daerah Garut dan Ciamis....(catatan penyunting).
Karier Tan Sam Cai di Cirebon
1569 - 1585
Tan Sam Cai yang tidak pernah suka memakai nama Muhammad Syafi'i gelar Tumenggung Aria Dipa Wiracula menjadi Menteri Keuangan Kesultanan Cirebon. Tan Sam Cai murtad! Dia sangat setia mengunjungi Klenteng Talang untuk membakar hio. Walaupun demikian, secara finansial Tan Sam Cai sangat berjasa memperkuat Kesultanan Cirebon, sehingga dia tetap dipertahankan. Sebagaimana sultan Turki, Tan Sam Cai mendirikan harem tempat simpanan ratusan Gula-gula kaki dua yakni di Istana Sunyaragi.
1570
Sultan Cirebon pertama wafat dan digantikan oleh putra beliau yang dilahirkan oleh putri Cina. Karena Sultan Cirebon yang kedua masih muda remaja, maka Tan Sam Cai secara de facto menguasai Kesultanan Cirebon. Yang menentang kekuasaan Tan Sam Cai hanyalah Haji Kung Sem Pak alias Muhammad Nurjani, keturunan Laksamana Haji Kung Wu Ping. Ia menjadi Pakuncen dan tinggal di Sembung.
1585
Tan Sam Cai wafat termakan racun di harem Sunyaragi. Jenazahnya ditolak oleh Haji Kung Sem Pak dari pemakaman para pembesar Kesultanan Cirebon di Sembung. Dalam hujan lebat terpaksa jenazahnya dibawa kembali ke Cirebon! Atas permintaan istrinya (= Nurleila binti Abdullah Nazir Loa Sek Cong), jenazah Tan Sam Cai dimakamkan secara Islam di pekarangan rumahnya sendiri. Walaupun dia dikuburkan secara Islam, tetapi atas permintaan penduduk Tionghoa non-Islam, di Klenteng Talang, diadakan pula upacara naik arwah untuk mendiang Tan sam Cai. Namanya dituliskan dengan tulisan Tionghoa di atas kertas merah, supaya disimpan di Klenteng Talang untuk selama-lamanya. Tan Sam Cai menjadi Demi God, dengan nama Sam Cai Kong. Menjadi orang suci yang mengabulkan do'a bila dia cukup dipuja dengan membakar hio.....(catatan editor).
Tambahan: Asal-usul Imigran Cina di Jawa
Kini orang-orang Tionghoa yang ada di pulau Jawa 99,9 % keturunan Hokkian. Hal itu tampak dari nama-nama keluarga mereka seperti: "Tan", "Lim", "Oei", "Ong", "Cia" dan lain sebagainya. Khususnya sebelum tahun 1500 dan umumnya pada masa Kesultanan Demak, orang-orang Tionghoa yang ada di pulau Jawa semuanya keturunan Yunnan dan Swatow. "Ma" dan "Bong" adalah nama keluarga Tionghoa dari Yunnan, "Gan" merupakan nama keluarga dari Swatow. Orang Tionghoa Hokkian pertama diketahui di Pulau Jawa adalah Haji Tan Eng Hoat di Cirebon. Dialah mata rantai yang hilang antara orang-orang Tionghoa Yunnan Islam dan orang-orang Tionghoa Hokkian Non-Islam di pulau Jawa.***

Jumat, 30 Mei 2014

Peran Cirebon Kuno (Indraprahasta) di era Tarumanagara

Peran Cirebon Kuno (Indraprahasta) di era Tarumanagara


Pada tahun 410 M, Sang Maharaja Purnawarman dari kerajaan Tarumanagara mengajak rakyatnya untuk membenahi Kali Gangga di daerah Indraprahasta (Cirebon). Sungai yang hilirnya disebut Cisuba ini mulai dibenahi tanggulnya dan diperdalam pada tanggal 12 bagian gelap bulan Margasira tahun 332 Saka dan selesai pada tanggal 15 bagian terang bulan Posya tahun 332 Saka.
Sebagai tanda selesainya pekerjaan, Sang Maharaja Purnawarman mengadakan selamatan disertai dengan pemberian hadiah harta (sangaskararthadaksina) kepada para Brahmana dan semua peserta gotong-royong hingga selesai. Hadiah berupa 500 ekor sapi, busana, 20 ekor kuda, 1 ekor gajah yang dihadiahkan kepada raja Indraprahasta. Aneka rupa makanan dan minuman yang lezat juga disuguhkan ke ribuan orang laki-laki dan perempuan dari desa-desa sekitarnya yang ikut kerja bakti.
Purnawarman mendapat gelar abiseka Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati. Bhimaparakrama maknanya gagah perkasa di medan perang sehingga musuh-musuhnya memberi julukan Wyaghra ing Tarumanagara (Harimau Tarumanagara). Sang Maharaja juga mendapat julukan Sang Purandara Saktipurusa dengan arti yang menghancurkan benteng. Dalam mitologi Hindu, purandara adalah salah satu julukan Dewa Indra yang dipercaya sebagai Dewa Perang, Dewa Hujan, dan Dewa Petir. Dengan demikian, pada masa itu sebenarnya di Nusantara khususnya di Jawa Barat sudah banyak kerajaan- kerajaan kecil dan pemukiman-pemukiman. Bahkan terjadi peperangan antar kerajaan dan saling menguasai sehingga muncul kerajaan yang terbesar. Akan tetapi hanya sedikit catatan sejarah mengenainya. Pada saat Sri Maharaja Purnawarman wafat, kerajaan-kerajaan yang menjadi bawahannya diantaranya adalah:
  1. Salakanagara (Pandeglang)
  2. Cupunagara (Subang)
  3. Nusa Sabay
  4. Purwanagara
  5. Ujung Kulon
  6. Gunung Kidul
  7. Purwalingga (Purbalingga)
  8. Agrabinta (Cianjur)
  9. Sabara
  10. Bumi Sagandu
  11. Paladu
  12. Kosala
  13. Legon
  14. Indraprahasta (Cirebon)
  15. Manukrawa
  16. Malabar (Bandung)
  17. Sindangjero
  18. Purwakerta
  19. Wanagiri
  20. Galuh Wetan (Purwa Galuh)
  21. Cangkuang (Garut)
  22. Sagara Kidul
  23. Gunung Kubang (Kubanggiri)
  24. Gunung Cupu
  25. Alengka
  26. Gunung Manik (Manikparwata)
  27. Karang Sindulang
  28. Gunung Bitung (Majalengka)
  29. Tanjung Kalapa (Jakarta)
  30. Pakuan Sumurwangi
  31. Kalapa Girang
  32. Sagara Pasir
  33. Rangkas (Rangkasbitung)
  34. Pura Dalem (Karawang)
  35. Linggadewata
  36. Tanjung Camara
  37. Wanadatar
  38. Setyaraja
  39. Jati Ageung
  40. Wanajati
  41. Dua Kalapa
  42. Pasir Muhara
  43. Pasir Sanggarung
  44. Indihiyang (Tasikmalaya)

    Yang menjadi pengganti Sri Maharaja Purnawarman adalah putra sulungnya yang bernama Sang Wisnuwarman yang dinobatkan menjadi raja Tarumanagara ke-4 pada tanggal 14 bagian terang bulan Posya tahun 356 Saka (tanggal 3 Desember 434 M). Tiga tahun sebelum dinobatkan, Sang Wisnuwarman melakukan upacara mandi suci di sungai Gangga di kerajaan Indraprahasta (Cirebon). Yang menjadi penguasa di Indraprahasta pada saat itu adalah Wiryabanyu, putra Jayasatyanagara cucu Maharesi Santanu.
    Kerajaan Indraprahasta di Cirebon pertamakali didirikan oleh Maharesi Santanu, seorang pendeta Syiwa yang leluhurnya berasal dari sungai Gangga India. Maharesi Santanu datang dari India ke Jawa Barat sebagai seorang pengungsi. Di India sendiri, pada tahun 345 M terjadi peperangan-peperangan antara Pallawa dan Calankayana dengan dinasti Samudragupta. Baru pada tahun 320-544 M dinasti Gupta menyatukan India setelah masa perang dan kemelut selama lima abad.
    Maharesi Santanu membangun sebuah desa baru di ujung kaki gunung Ciremai yang gunung tersebut dinamakan gunung Indrakila. Desa yang dibangun tumbuh mekar menjadi sebuah kota lalu menjadi kerajaan yang diberi nama Indraprahasta. Untuk mengingat kampung halaman asalnya, Maharesi Santanu memberi nama sungai yang mengalir di tempat tinggalnya sungai Gangga. Sungai tersebut saat ini dikenal Setu Gangga yang posisinya berada di Cirebon Girang dan ke hilirnya disebut Cisuba atau Kali Kriyan. Di sungai itu Maharesi Santanu mereduplikasi kebiasaan mandi suci dari negeri leluhurnya. Dengan demikian, kerajaan Indraprahasta menjadi salah satu pusat kegiatan keagamaan Hindu di Jawa Barat. Raja-raja dan masyarakat di sekitarnya yang menganut agama Hindu melakukan mandi suci di sungai itu.
    Maharesi Santanu menikah dengan Dewi Indari putri ketiga Dewawarman VIII dari Salakanagara. Dewi Indari adalah adik dari Dewi Minawati, permaisuri Rajadirajaguru atau Jayasingawarman Gurudarmapurusa, raja Tarumanagara yang pertama. Pada masa pemerintahan dipegang oleh putra Maharesi Santanu yakni Jayasatyanagara, Indraprahasta menjadi negara bawahan Tarumanagara karena kalah perang dan ditaklukan oleh Sri Maharaja Purnawarman. Jadi, apabila Maharesi Santanu dan Maharesi Jayasingawarman adalah sama-sama rombongan pengungsi dari India yang mana kedatangannya ke pulau Jawa dan diterima oleh raja Dewawarman VIII di Salakanagara pada tahun 348 M kemudian Maharesi Jayasingawarman diberi tempat untuk mendirikan pedukuhan di samping sungai Citarum dan diberi nama Tarumadesya yang setelah sepuluh tahun berkembang menjadi negara kota dikenal sebagai Tarumanagara, sedangkan Maharesi Santanu terus bergerak ke timur sehingga sampai di ujung gunung Ciremai dan mendirikan Indraprahasta, maka berdirinya kerajaan Indraprahasta adalah sejaman dengan kerajaan Tarumanagara. Hanya karakter kerajaan yang membedakannya adalah bahwa Tarumanegara cenderung untuk meluaskan kekuasaan dan kejayaan serta kemakmuran sedangkan Indraprahasta cenderung religius.

    Sekitar tahun 359 Saka atau 437 M terjadi pemberontakan di Tarumanagara terhadap Sang Maharaja Wisnuwarman oleh Sang Mahamantri Cakrawarman adik dari Sang Maharaja Purnawarman atau paman kandung Raja Wisnuwarman. Sang Cakrawarman dan para pendukungnya melarikan diri dari Tarumanagara ke arah Wanagiri suatu wilayah di tengah Jawa Barat namun berhasil di obrak-abrik oleh pasukan Tarumanagara lalu Sang Cakrawarman mendirikan markas baru tak jauh dari sungai Sarasahnadi (Cimanuk).
    Tanpa disadari oleh Sang Cakrawarman, Prabu Wiryabanyu raja dari Indraprahasta telah mendapat perintah Sang Maharaja Wisnuwarman agar menyiapkan pasukan untuk mencegat pasukan Sang Cakrawarman dari arah timur. Pasukan Sang Prabu Wiryabanyu sudah siap siaga dengan kekuatan penuh yang dipimpin oleh panglima pasukan Sang Boggol Bumi dari kerajaan Sindang Jero dan panglima pasukan laut Sang Limbur Sakti.
    Disamping dua panglima perang, Sang Prabu Wiryabanyu juga dibantu oleh panglima-panglima perang Indraprahasta lainnya, diantaranya:
    1. Sang Tambak Giri, Panglima Wadana
    2. Sang Tunggulwesi, Menteri Tanda
    3. Sang Tapak Batara, Pemimpin Urusan Keraton
    4. Prabu Sela Lingganagara, adik Sang Prabu Wiryabanyu yang menjadi penghubung (pranala) ke raja-raja daerah
    5. Sang Babarkalih, Buyut Wanagiri
    6. Sang Jarandewa, Menteri Muda
    7. Brahmanaresi Samhitaka, pemuka pertapaan sungai Gangga dikenal sebagai peniup sangkala perang
    Sang Prabu Wiryabanyu sudah mengetahui tempat persembunyian Sang Cakrawarman dan pasukannya. Sesudah member petunjuk kepada pasukannya, pasukan gabungan dibagi dua rombongan. Sebagian rombongan dipimpin langsung Sang Prabu Wiryabanyu dibarengi oleh Senapati Ragabelawa. Belawa sekarang ini adalah suatu desa yang masuk kecamatan Lemahabang, Sindanglaut, Cirebon yang memiliki situs kura-kura purba raksasa dan pohan-pohan besar yang berumur ratusan tahun. Namun sayang, situs ini tidak terawat dengan baik sehingga kura-kura raksasa hampir punah. Bersama rombongan pasukan Sang Prabu Wiryabanyu turut bergabung pasukan kerajaan Sanggarung yang dipimpin oleh Senapati Gorawa. Cisanggarung adalah nama sungai yang hilirnya di Losari dan menjadi batas wilayah Jawa Barat dengan Jawa Tengah saat ini.
    Sebagian rombongan lainnya menggunakan perahu menyusuri sungai Cimanuk dipimpin oleh Panglima Angkatan Laut Indraprahasta Sang Limbur Sakti. Di dalam rombongan pasukan ikut bergabung pasukan dari kerajaan Manukrawa dipimpin oleh Sang Welutbraja.
    Pasukan Sang Cakrawarman dikepung oleh pasukan gabungan Indraprahasta, tepat saat fajar menyingsing pertempuran dimulai. Tatkala Sang Cakrawarman melihat Sang Prabu Wiryabanyu ada diantara rombongan pasukan yang datang langsung, menyerang raja Indraprahasta tersebut. Tanpa disadari oleh Sang Cakrawarman, pasukan Bhayangkara Indraprahasta menghadang sehingga Sang Cakrawarman roboh tersungkur ke atas tanah dengan puluhan anak panah dan tombak menancap di sekujur tubuhnya. Untuk menakut-nakuti musuhnya, sang Prabu Wiryabanyu memerintahkan agar pasukannya melepaskan panah-panah api (apuy cinaraken) ke kemah-kemah pasukan Sang Cakrawarman. Akhirnya, pasukan Indraprahasta bisa menumpas musuh-musuhnya, pasukan Sang Cakrawarman yang memberontak dari tanggal 14 bagian terang bulan Asuji (September/Oktober) sampai dengan tanggal 11 bagian gelap bulan Kartika (Oktober/November) tahun 359 Saka atau 437 M yang lamanya 28 hari.
    Sang Prabu Wiryabanyu dan semua yang bersama-sama menumpas pemberontakan Sang Cakrawarman mendapat hadiah dari Sang Maharaja Wisnuwarman. Karena pemberontakan Sang Cakrawarman didukung oleh pasukan Bhayangkara Tarumanagara, akhirnya pasukan Bhayangkara Tarumanagara diganti oleh prajurit-prajurit terpilih dari kerajaan Indraprahasta yang terkenal gagah berani dan ahli menggunakan peralatan perang. Dan Sang Maharaja Wisnuwarman mengawini Suklawatidewi, adik dari Sang Prabu Wiryabanyu dan menurunkan raja-raja Tarumanagara selanjutnya.

Kisah Raja dan Putra Mahkota

Raja Cerbon selama memerintah dikelilingi oleh para penjilat dan penghasut. Setiap senyum yang ia temui rasanya seperti menyimpan kebencian. Ia tak bisa mempercayai siapa pun di istana, kecuali sang putra mahkota yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri. Pemuda ini pun bisa mencium bahaya di istana, dan pada suatu hari ia berkata kepada ayahnya, "Ayahanda, mari kita pura-pura bertengkar dan kita tunjukkan pertengkaran kita terang-terangan. Pada saat itu, mereka yang diam-diam membenci dan ingin menghancurkanmu pasti akan segera menarikku dalam rencana mereka."
Sang ayah awalnya merasa ragu, melihat betapa bahayanya hal ini bagi si anak. Tapi si anak bersikeras dan akhirnya sang Raja menyetujui. Di hadapan banyak pejabat istana, sang Raja dan putranya mulai bertengkar dan saling berteriak. Tapi tak ada seorang pun yang mendekati putranya karena ia memang dikenal amat mencintai ayahnya.
Putra mahkota berkata, "Ayahanda, penjarakanlah aku agar para penghasut berpikir bahwa pertengkaran kita memang sungguhan. Barangkali saja pada saat itu mereka akan membuka kedok mereka padaku."
Lagi-lagi sang Raja ragu, karena ia jelas tak ingin melihat anaknya dipenjara. Tapi sekali lagi si anak berkeras dan sang Raja akhirnya luluh. Setelah beberapa bulan mendekam di penjara, si anak mengirimkan sepucuk surat rahasia padanya.
'Ayahanda, tak ada yang percaya kalau pertengkaran kita sungguhan. Jatuhkanlah hukuman yang mengerikan buatku agar mereka lebih yakin. Suruh para prajurit Ayah untuk mencambuk dan menghukum mati diriku. Dengan begini, para pembenci Ayah pasti akan segera membelaku.'
Ketika Raja menerima pesan tersebut, ia memekik ngeri. "Bagaimana mungkin kulakukan hal ini?"
Beberapa bulan berlalu, si anak tetap merana di penjara sementara sang Raja masih ragu untuk menjatuhkan hukuman. Akhirnya, si anak mengirim pesan lagi pada sang Raja, "Jika Ayahanda tak segera memerintahkan agar aku dihukum cambuk, maka sia-sialah penderitaanku selama ini. Segera jatuhkan hukuman. Jangan sampai kelembekan hati Ayah terhadapku malah jadi penghalang."
Sekali lagi sang ayah terpaksa menuruti kemauan anaknya dan menjatuhkan hukuman. Segera saja para pembenci sang Raja bergabung membela putra mahkota. Setelah bebas, sang putra mahkota mengumumkan pemberontakan secara terbuka; ia berjanji untuk menggantikan posisi ayahnya.
Rakyat tentu saja mengutuk habis-habisan si anak; tapi seluruh musuh sang Raja, baik yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi dengan bersemangat menjilat si anak. Sementara itu, si anak juga tak putusnya mengirimkan pesan rahasia dan membeberkan segalanya pada sang Raja. Dengan demikian, si anak berhasil melindungi ayahnya sekaligus merontokkan kekuatan oposisi.
Rakyat yang mencintai sang Raja dengan segera membenci si anak, tanpa sama sekali mengetahui duduk perkara sebenarnya.....