Sabtu, 31 Mei 2014

Sejarah Cirebon versi Tionghoa

Catatan ini berasal dari buku karya Ir. Mangaradja Onggan Parlindungan yang diterbitkan pada tahun 1964 atau 8 tahun sebelum Carita Purwaka Caruban Nagari diterbitkan oleh Drs. Atja, yang mana buku tersebut bejudul Tuanku Rao. Naskah ini menjadi lampiran dalam buku tersebut. Parlindungan menyatakan bahwa ia menerima bahan-bahan buku itu dari orang Belanda yang bernama Poortman yang naskah aslinya berasal dari arsip kelenteng Talang di Cirebon. Catatan ini juga sudah dipakai oleh Mr. Slametmuljana dalam bukunya tentang munculnya negara-negara Islam di Indonesia yang berbahasa Indonesia pada tahun 1968 yang dilarang beredar pada masa Orde Baru, dan diterbitkan dalam bahasa Inggeris dengan judul A Story of Majapahit. De Graaf dan Pigeaud, 2 pakar sejarah dari Belanda menyatakan bahwa ketika pertama kali membaca naskah ini merasa asing dan mengabaikannya akan tetapi kemudian menganggap naskah tersebut sebagai objek studi yang berguna. Sedangkan  M.C. Ricklefs menyatakan bahwa kehati-hatian jelas sangat dituntut, menerima semua bagian dalam naskah ini secara apa adanya merupakan tindakan yang bodoh. Isi naskah tersebut adalah sebagai berikut:

Pemukiman Cina Pertama di Gunung Jati, Cirebon
1415
Laksamana Haji Kung Wu Ping, keturunan dari Kong Hu Cu (Confusius) mendirikan menara mercusuar di atas bukit Gunung Jati. Tidak jauh dari situ dibangun pula Komunitas Muslim Cina Hanafi, yaitu di Sembung, Sarindil dan Talang. Masing-masing lengkap dengan masjidnya. Kampung Sarindil ditugaskan menyediakan kayu jati untuk perbaikan kapal-kapal. Kampung Talang ditugaskan untuk memelihara dan merawat pelabuhan. Kampung Sembung ditugaskan  memelihara mercususar. Secara bersama-sama, ketiga kampung Tionghoa Islam Hanafi itu ditugaskan pula memasok bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal Tiongkok dinasti Ming. Pada waktu itu, daerah Cirebon penduduknya masih jarang tetapi tanahnya sangat subur karena terletak di kaki gunung Ciremai.
1450 - 1475
Sebagaimana pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah, di daerah Cirebon pun Komunitas Cina Muslim Hanafi sudah sangat merosot karena sudah putus hubungan dengan Tiongkok Daratan. Masjid Sarindil sudah menjadi pertapaan karena masyarakat Tionghoa Islam Hanafi di situ sudah tidak ada lagi, sedangkan masjid di Talang sudah menjadi kelenteng. Sebaliknya, Masyarakat Tionghoa Islam Hanafi di Sembung sangat berkembang dan sangat teguh imannya di dalam agama Islam.
Supposition: Pada waktu itu perkembangan di Sembung sama seperti di Bagan Siapi-api, Pattani dan Sambas yaitu masyarakat Tionghoa yang terisolasi tetap beragama Islam Hanafi dan tetap menggunakan bahasa Tionghoa untuk mengerjakan ibadah wajib/fardhu.
Ekspansi Kekuasaan Demak di Jawa Barat
1526
Armada dan tentara Islam Demak singgah di pelabuhan Talang. Ikut serta dalam armada itu seorang Tionghoa Muslim peranakan yang pandai bahasa Tionghoa bernama Kin San. Panglima tentara Demak (=Syarif Hidayat Fatahillah) serta Kin San dari Talang pergi ke Sarindil, tempat bertapa Haji Tan Eng Hoat, Imam Sembung. Bersama Haji Tan Eng Hoat, tentara Islam Demak secara damai memasuki Sembung. Atas nama Raja Islam Demak, Panglima Tentara Demak memberikan gelar kepada Haji Tan Eng Hoat, Imam Sembung. Bunyi gelar itu, "Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi". Tentara Demak kembali ke kapal dan berlayar ke barat. Kin San satu bulan bertamu pada Haji Tan Eng Hoat.
Supposition: Sultan Trenggana memberikan gelar "Maulana-Ifdil Hanafi" kepada Haji Tan Eng Hoat. Dengan demikian, Jafar Sadik gelar Sunan Kudus mengizinkan Haji Tan Eng Hoat dkk, di daerah Cirebon tetap beragama Islam Madzhab Hanafi dengan  terus menggunakan  bahasa Tionghoa dalam menjalankan ibadah fardhu. Mereka tidak dipaksakan harus beralih ke madzhab Syafi'i yang ibadah fardhunya harus menggunakan bahasa Arab. Pintar sekali Sunan Kudus!
Berdirinya Kesultanan Cirebon
1552
Setelah seperempat abad, Panglima Tentara Demak datang lagi ke Sembung. Sendirian tanpa tentara. Haji Tan Eng Hoat terheran-heran. Kabarnya, Panglima Tentara Demak pernah menjadi Raja Islam di Banten. Dia sangat kecewa mendengar pembunuhan-pembunuhan dikalangan keturunan Jin Bun di Demak. Dia pun tidak mau tunduk kepada Sultan Pajang, karena di Kesultanan Pajang, Madzhab Syi'ah sangat berpengaruh. Bekas Panglima Tentara Demak katanya seterusnya hendak bertapa seumur hidup di Sarindil. Haji Tan Eng Hoat menceritakan bahwa masyarakat Tionghoa Islam di Sembung pun sudah sejak 4 generasi putus hubungan dengan Yunnan yang Islam. Sebaliknya, orang-orang Tionghoa keturunan Hokkian yang bukan Islam sudah sangat kuat di daerah Cirebon. Haji Tan Eng Hoat sendiri adalah keturunan Hokkian yang cuma sangat sedikit sekali yang mau masuk Islam. Haji Tan Eng Hoat meminta kepada bekas Panglima Tentara Demak supaya membimbing masyarakat Tionghoa Islam di Sembung mendirikan suatu Kesultanan sebagaimana Jin Bun di Demak dahulu. Tidak ada jalan lain untuk menjamin masyarakat Tionghoa dan madzhab Hanafi, kecuali melepaskan diri dari Demak. Walaupun sudah tua, bekas Panglima Tentara Demak itu menerima permintaan itu.
1552 - 1570
Dengan bantuan masyarakat Islam Tionghoa Sembung, bekas Panglima Tentara Demak itu mendirikan Kesultanan Cirebon yang berpusat di tempat Keraton Kesepuhan sekarang. Sembung ditinggalkan dan menjadi pekuburan Islam. Penduduk Sembung boyong sedesa dan dengan nama-nama Islam dan nama-nama Indonesia asli menempati kota Cirebon yang baru muncul. Sultan Cirebon yang pertama tentu saja bekas Panglima Tentara Demak sendiri. Dia segera membentuk tentar Islam dari bekas penduduk Sembung. Orang-orang Tionghoa yang non-Islam terpaksa tunduk kepada Tentara Tionghoa Islam Cirebon yang baru dibentuk itu.
1553
Supaya ada Ibu Negara di Kesultanan Cirebon yang baru tampil itu, maka Sultan Cirebon pertama (yang sudah lanjut usianya) menikah dengan putri Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi. Dari Sembung, penganten putri diarak ke Keraton dengan kebesaran, seolah-olah dari istana kaisar-kaisar Tiongkok Dinasti Ming pada zaman Laksamana Haji Sam Po Bo. Sang putri dikawal oleh sepupunya, Tan Sam Cai....(penyunting!)
Catatan: Di dalam hal memberangkatkan seorang penganten wanita, orang-orang Batak jauh lebih parah daripada siapapun di Indonesia. Dari rumah ke rumah di Mentang Pulo, suatu kerajaan di Mandailing ke suatu kerajaan di Sipirok. Horas, horas, horas. Semua orang sangat bahagia, menunggu rendang daging kerbau yang jauh lebih enak daripada rendang daging sapi.
1553 - 1564
Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi dengan gelar Pangeran Adipati Wirasenjaya menjadi Raja Muda bawahan Kesultanan Cirebon. Secara de jure berkuasa sampai ke Samudera India, secara de facto berkedudukan di dekat Kadipaten. Dari situ beliau sangat berjasa dalam mengembangkan agama Islam Madzhab Syafi'i dalam bahasa Sunda di pedalaman Priangan Timur sampai ke Garut.
1564
Haji Tan Eng Hoat wafat di dalam ekspedisi militer merebut kerajaan Galuh yang beragama Hindu. Jenazahnya dimakamkan di daerah Galuh, di sebuah pulau di tengah suatu danau.
Catatan: Nama danau itu tidak disebutkan di dalam catatan klenteng Talang....(catatan penyunting). Diduga itu salah satu danau-danau kecil yang jumlahnya sangat banyak di daerah Garut dan Ciamis....(catatan penyunting).
Karier Tan Sam Cai di Cirebon
1569 - 1585
Tan Sam Cai yang tidak pernah suka memakai nama Muhammad Syafi'i gelar Tumenggung Aria Dipa Wiracula menjadi Menteri Keuangan Kesultanan Cirebon. Tan Sam Cai murtad! Dia sangat setia mengunjungi Klenteng Talang untuk membakar hio. Walaupun demikian, secara finansial Tan Sam Cai sangat berjasa memperkuat Kesultanan Cirebon, sehingga dia tetap dipertahankan. Sebagaimana sultan Turki, Tan Sam Cai mendirikan harem tempat simpanan ratusan Gula-gula kaki dua yakni di Istana Sunyaragi.
1570
Sultan Cirebon pertama wafat dan digantikan oleh putra beliau yang dilahirkan oleh putri Cina. Karena Sultan Cirebon yang kedua masih muda remaja, maka Tan Sam Cai secara de facto menguasai Kesultanan Cirebon. Yang menentang kekuasaan Tan Sam Cai hanyalah Haji Kung Sem Pak alias Muhammad Nurjani, keturunan Laksamana Haji Kung Wu Ping. Ia menjadi Pakuncen dan tinggal di Sembung.
1585
Tan Sam Cai wafat termakan racun di harem Sunyaragi. Jenazahnya ditolak oleh Haji Kung Sem Pak dari pemakaman para pembesar Kesultanan Cirebon di Sembung. Dalam hujan lebat terpaksa jenazahnya dibawa kembali ke Cirebon! Atas permintaan istrinya (= Nurleila binti Abdullah Nazir Loa Sek Cong), jenazah Tan Sam Cai dimakamkan secara Islam di pekarangan rumahnya sendiri. Walaupun dia dikuburkan secara Islam, tetapi atas permintaan penduduk Tionghoa non-Islam, di Klenteng Talang, diadakan pula upacara naik arwah untuk mendiang Tan sam Cai. Namanya dituliskan dengan tulisan Tionghoa di atas kertas merah, supaya disimpan di Klenteng Talang untuk selama-lamanya. Tan Sam Cai menjadi Demi God, dengan nama Sam Cai Kong. Menjadi orang suci yang mengabulkan do'a bila dia cukup dipuja dengan membakar hio.....(catatan editor).
Tambahan: Asal-usul Imigran Cina di Jawa
Kini orang-orang Tionghoa yang ada di pulau Jawa 99,9 % keturunan Hokkian. Hal itu tampak dari nama-nama keluarga mereka seperti: "Tan", "Lim", "Oei", "Ong", "Cia" dan lain sebagainya. Khususnya sebelum tahun 1500 dan umumnya pada masa Kesultanan Demak, orang-orang Tionghoa yang ada di pulau Jawa semuanya keturunan Yunnan dan Swatow. "Ma" dan "Bong" adalah nama keluarga Tionghoa dari Yunnan, "Gan" merupakan nama keluarga dari Swatow. Orang Tionghoa Hokkian pertama diketahui di Pulau Jawa adalah Haji Tan Eng Hoat di Cirebon. Dialah mata rantai yang hilang antara orang-orang Tionghoa Yunnan Islam dan orang-orang Tionghoa Hokkian Non-Islam di pulau Jawa.***

2 komentar:

  1. Versi sejarah Cirebon ternyata banyak ya kang Falah. Keep posting kang, karena bermanfaat sekali. Sukses selalu. (Menchana Klayan)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul kang, terutama sejarah Cirebon Islam, ada; Carita Purwaka Caruban Nagari (terbitan P.S. Sulendraningrat dan Drs. Atja), Babad Tanah Sunda/Babad Cirebon (P.S. Sulendraningrat), Sajarah Cirebon (H. Mahmud Rais), Carub Kanda (Salana, Jemaras Lor), Babad Cerbon (J.L.A. Brandes), Babad Cirebon (S.Z. Hadisutjipto, Klayan), Wawacan Sunan Gunung Jati (Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana).

      Hapus