Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R.
Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di daerah Ciledug, Cirebon. Pendidikan
formalnya dilalui dari HIS, MULO dan drop out AMS-B Jakarta, cukup tinggi untuk masa itu,
namun bakat seninya lebih menonjol dan menuntunnya untuk menjadikannya sebagai jalan
hidup. Hingga merantau ke Bandung.
Padatahun 1930-an, lebih dari tiga perempat abad yang lalu,
Affandi---yang sekarang lukisannya dihargai dengan tujuh angka nol yang
berderet per buah---mendiami sebuah rumah kecil, semacam rumah perumnas, di Gg.
Wangsareja, Lengkong, Bandung. Rumahnya berseberangan dengan rumah pelukis reklame
Turkandi. Mereka sama-sama bekerja pada Perusahaan Reklame Alpubu, milik seorang
Belanda. Karya mereka yang banyak dikenal orang Bandung pada tahun tiga puluhan
itu ialah patung unta raksasa, setinggi atap rumah, yang dibuat dari kayu dan
kain. Menjelang dibukanya Pasar Malam Jaarbeurs di Bandung, Affandi dan kawan-kawannya
sibuk bekerja, karena Alpubu mendapat banyak order untuk pembuatan stand di
sana.
Potret Diri - 1938
Rumah Affandi sering diintip oleh para pemuda tanggung belasan
tahun, karena katanya, di sana terdapat sebuah lukisan wanita bugil. Banyak desas-desus
mengatakan bahwa model lukisan itu adalah istri Affandi sendiri. Tak heran kalau
keluarga Affandi dianggap lain dari yang lain, karena pada masa itu jarang sekali
wanita Nusantara yang berani memakai rok.
Telanjang (Istriku Maryati) - 1940
Di Bandung pada waktu itu sudah ada sejumlah orang yang hidup
dari melukis. Pada masa itu istilah pelukis atau lukisan belum banyak dikenal
orang, yang ada adalah tukang gambar, ahli gambar dan gambar. Kalau mau lebih mentereng
adalah istilah ‘schilder’.
Yang paling terkenal di antara mereka adalah Raden Abdullah,
bangsawan seniman dari Solo, yang juga ayah pelukis Basuki Abdullah. Hasil karyanya
dinilai paling mahal dan suka dipajang di etalase toko-toko megah di Jl. Braga.
Namun, si pelukis sendiri lebih senang menyewa kamar di kampung, di
tengah-tengah rakyat jelata. Ia melukis dengan duduk bersila di atas tikar dan jika
sudah menerima uang hasil lukisannya, semua anak kecil di kampong itu ditraktirnya
menonton bioskop.
Tema lukisan yang dijual pada waktu itu hamper sama semua;
pemandangan alam dengan gunung dan sawah. Kekecualian hanya ada pada pelukis
Adam di Gg. Saat, yang senang melukis orang, dan Kustiwa, yang senang melukis penari
serimpi di atas kain beludru. Semakin mirip lukisan pemandangan dan potret itu sebagai
foto berwarna ukuran besar, maka harganya semakin mahal.
Kecuali Raden Abdullah, hamper semua pelukis mempunyai penjaja
yang menenteng lukisan menyusuri perumahan orang-orang Belanda, sambil berteriak
menawarkan barang dagangannya, “Silderay,
menir!” (Schilderij, meneer---Lukisan, tuan). Jika saat itu ada dua buah di
antara seratus lukisan di beli orang Hindia Belanda, hal itu sudah luar biasa.
Hotel-hotel besar yang sering didatangi turis juga dijadikan sasaran
oleh para penjaja lukisan. Namun, berdagang di situ ada risikonya. Penjaja harus
pandai main kucing-kucingan, karena kalau kepergok pengawas hotel yang biasanya
orang Belanda, mereka bias dipukul atau ditendang. Pengawas Hotel Preanger terkenal
paling galak. Walaupun penghuni hotel sedang asyik beradu harga dengan penjaja lukisan,
jika kelihatan oleh sipengawas yang galak itu, si penjaja pasti ditendang keluar.
Tak heran jika ia dijuluki si Kuda.
Salah seorang penjaja lukisan itu bernama Mang Enjam. Pada suatu
waktu Mang Enjam yang sudah capek mendatangi para pelukis. Ia menawarkan jasa untuk
menjualkan hasil kerjanya, tapi tak ada yang memberikannya. Akhirnya ia dating kepada
Affandi di Gg. Wangsareja. Affandi juga menggelengkan kepala, karena dia juga tidak
memiliki persediaan lukisan yang bisa dijual.
“Kumaha upami nu ieu?” (Bagaimana kalau yang ini?) Tanya Mang
Enjam pada Affandi sambil menunjuk pada lukisan berukuran 30 x 40 cm, yang
terletak di sudut kamar. Yang ditunjuk itu adalah sebuah corat-coret, pelototan
cat minyak, khas lukisan Sang Maestro Affandi hingga akhir hayatnya, bukan di
atas kanvas, tapi di atas anyaman serat bagor.
Potret Diri - 1977
Sebelumnya Mang Enjam hanya bergumul dengan lukisan sawah,
gunung, sampai-sampai dia hafal nama-nama gunung di atas kanvas itu, dari yang
ada di Jawa Barat sampai keJawaTimur. Namun, sampai tutup usianya dia tidak tahu,
lukisan apa yang dia tenteng dari rumah Affandi tersebut. Sebenarnya ia membawa
lukisan Affandi itu hanya sekadar bukti untuk istrinya, yang mengomel terus dan
mengatakan ia tidak mau berusaha mencari uang.
Sedikit pun ia tidak punya harapan untuk dapat menjual lukisan
itu. Apalagi sewaktu dia bergabung dengan teman-teman seprofesinya, yang
mangkal di belakang Hotel Preanger, yang menertawakan dan mencemoohkannya membawa
lukisan yang ‘aneh’ itu.
Dari sana Mang Enjam dengan lesu pergi ke Jl. Braga, mangkal sendirian
di depan kantor gas. Lukisan yang dibawanya itu disenderkannya pada dinding di
bawah etalase yang memamerkan peralatan gas.
Jl. Braga - Bandung
Banyak orang lalu-lalang di Jl. Braga, tetapi jarang ada yang
melirik ke arah barang dagangannya itu. Kalau ada yang memperhatikannya, ia terus
menatap wajah Mang Enjam. Ketika datang seorang Belanda yang tinggi besar dan rupanya
tertarik pada lukisan itu, sambil mengerutkan dahinya ia menatap muka Mang Enjam
seperti seorang polisi memelototi maling yang tertangkap basah. Ia lalu membentak,
“Kuwe gila, ya?”
Dasar dapur Mang Enjam hari itu harus ngebul rupanya.Tiba-tiba
sebuah sedan berhenti di seberang jalan, di depan Toko Mas De Concurrent. Dari
jauh orang Belanda pengendara mobil itu memperhatikan lukisan yang dibawa Mang Enjam
tersebut. Kemudian ia menyeberang dan mengamati lukisan itu dari dekat, lalu mundur
ke pinggir trotoar.
“Berapa?” tanyanya.
“Pep holden, lima
perak, Tuan,” jawab Mang Enjam sambil tersenyum-senyum menunggu tawaran.
“Masukkan ke mobil, ya,” kata Belanda itu sambil mengeluarkan
uang dari dompetnya.
Setengah berlari Mang Enjam bergegas ke Gg. Wangsareja. Dengan
terengah-engah dia berbohong, “Gan, gambar teh laku. Seringgit.” Affandi tersenyum lebar. Lebih lebar lagi senyum Mang Enjam
yang dapat komisi pula seperak.
Pada tahun enam puluhan Mang Enjam sudah tidak lagi menjadi penjaja
lukisan. Ia mencoba mengadu nasib dengan berdagang keris, yang dijajakannya di
Pasar Baru, Jakarta.
Nasib menentukan dia dapat bertemu kembali dengan Affandi, si
pelukis besar caliber internasional, yang baru pulang dari Amerika. Affandi
yang selalu akrab dengan rakyat kecil tak segan-segan memeluk pedagang kaki
lima itu di tengah hiruk pikuk Pasar Baru. Dengan bersungguh-sungguh Mang Enjam
diajaknya menaiki sedan dan diundang untuk menginap di rumahnya di Yogya. Sambil
mengucapkan terimakasih, Mang Enjam menolak dengan halus, karena ia tahu sekarang
dunia Affandi sudah jauh berbeda dengan dunianya sendiri.
Seperti yang diceritakan oleh saudara sepupu Mang Enjam, M.
Soearman.