Abad
ke-18 adalah masa-masa yang sangat kelam dalam sejarah Cirebon. Bencana
alam dan bencana yang diciptakan oleh manusia sendiri membuat miskin
rakyat Cirebon, dan merupakan dasar sinyalemen para ahli sejarah
Belanda, bahwa mungkin tidak ada distrik lain di Jawa di bawah
pengawasan mereka yang lebih menderita daripada Cirebon.
Pejabat-pejabat
kompeni dalam abad ke-18 terkenal korup dan serakah. Mereka hanya
memikirkan bagaimana menjadi kaya raya dalam waktu yang sependek
mungkin, dan kemudian kembali ke negeri Belanda atau menetap di Hindia
dengan gaya hidup mewah. Residen-residen di Cirebon yang paling serakah
diantara residen-residen kompeni, dan kedudukan di Cirebon yang paling
didambakan. Batavia hampir-hampir tidak ada kekuasaan sama sekali
terhadap residen-residen Cirebon. Residen-residen itu berusaha untuk
menguasai semua perdagangan dari hampir segala macam hasil rakyat, dan
dengan demikian menyebabkan kemunduran dan hampir memusnahkan golongan
dagang pribumi, dan bahkan hampir melumpuhkan segala aktivitas dagang
pribumi.
Beras, kapas, nila, lada, kayu, gula, kacang-kacangan dan sebagainya yang dihasilkan oleh rakyat dibeli oleh residen-residen itu dengan harga serendah mungkin. Hasil padi misalnya, sebanyak 300 koyang setahun atau 1.350.000 kg dibeli dengan harga sangat rendah, 25 ringgit satu koyangnya. Tiap produk yang berharga untuk pasaran dikuasai oleh residen, dan dibayar dengan mata uang yang sudah merosot nilainya. Desa-desa secara keseluruhan disewakan kepada orang-orang Cina, yang memungut pajak, menjual candu, dan menguasai tenaga kerja. Untuk menutup mulut pejabat di Batavia, para residen membagi barang rampasannya dengan beberapa pejabat di Batavia. Para residen Cirebon bahkan menyerahkan tenaga kerja rodi ke Batavia sebanyak 200 orang atau lebih setahun. Kemiskinan dan pemerasan lewat pajak dan cara-cara lain menimbulkan suatu kejahatan sosial, ialah perbudakan manusia atau menjual diri dan keluarga ke dalam perbudakan.
Terjadinya penjualan diri untuk menjadi budak secara besar-besaran menggelisahkan orang Belanda, dan walaupun tidak sama sekali menutup mata terhadap kesalahan diri sendiri, namun para Sultan dan pangeran dipersalahkan atas penderitaan penduduk ini. Sejumlah besar pengikut sultan-sultan dan keluarga mereka merupakan beban berat bagi kaum tani, terutama dalam perjalanan-perjalanan mereka ke desa-desa. Dan para pangeran masih dianggap miskin oleh orang Belanda, yang mengatakan bahwa pangeran-pangeran ini tidak tinggal dalam istana-istana terbuat dari batu, melainkan hanya dari kayu saja. Mungkin ini hanya penilaian Belanda berdasarkan atas pendapat mereka mengenai gaya dan konsepsi mengenai kemewahan, dan bukan atas kenyataan-kenyataan di Cirebon. Sebab siapapun yang melihat hasil ukiran kayu dan arsitektur batu Cirebon, akan mengagumi keindahannya. Diperkirakan bahwa para residen pada abad ke-18 mendapatkan 60.000 ringgit setahunnya. Yang paling serakah, Graf van Hogendorp, mendapat 100.000 ringgit tiap tahun. Walaupun demikian, residen-residen itu mempunyai staf kulit putih yang sangat kecil, terdiri atas beberapa orang, dan untuk mendapat keuntungan-keuntungan mereka sangat tergantung kepada bantuan dan kerjasama para bangsawan pribumi. Sebagai imbalan, mereka mendapatkan segala perlindungan dari kompeni.
Di tengah-tengah kemajuan kebudayaan istana Cirebon pada abad ke-18, seperti yang terlihat pada ukiran kayu dan kesenian batik, dan kemewahan residen-residen Belanda, diantaranya Graf van Hogendorp yang memelihara 16 orang pemain musik yang harus main pada tiap waktu makan, rakyat dilanda bencana wabah penyakit dan kelaparan. Tahun-tahun 1719, 1721, 1729, 1756, 1757, 1773, 1775, 1776, 1792, dan 1812 merupakan tahun-tahun bencana kelaparan dan wabah penyakit bagi rakyat Cirebon. Suatu laporan dari tahun 1765 mengisahkan bahwa tidak ada perdagangan antara kaum pribumi, yang telah demikian miskin dan habis kekuatan mereka karena eksploitasi dan bencana alam. Dalam wabah tahun 1773 dan 1775, di kota Cirebon setiap hari 50 orang meninggal dunia. Menurut suatu laporan Belanda, dalam tahun 1806 berkurangnya penduduk dan surutnya kedudukan Sultan, bahkan menyebabkan Sultan-sultan ini tidak lagi mempunyai pembantu-pembantu. Pelabuhan Cirebon pada akhir abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 menjadi demikian tidak sehatnya, sehingga residen harus memindahkan markas besarnya ke tempat lain, pemerintahan Belanda pada umumnya hancur setelah Van Hogendorp yang serakah itu.
Barangkali pemerintahan Van Hogendorp di Cirebon merupakan yang paling buruk dalam sejarah daerah itu selama pemerintahan lama kompeni. Waktu Van Hogendorp pulang ke negri Belanda, kapalnya tenggelam karena terlalu banyak memuat barang rampasannya dari Hindia Belanda, demikian menurut gunjingan orang pada waktu itu.
Namun, perubahan-perubahan sampai juga di Cirebon, Perubahan ini datang karena kejadian-kejadian di negri Belanda dan Eropa. Pada akhir tahun 1790-an revolusi Prancis sampai di Negri Belanda, yang menjadi Bataafsche Republiek di bawah naungan Prancis. Namun Prancis jatuh di bawah hipnose 'Prajurit Revolusi' dan kaisarnya, Napoleon Bonaparte, yang bermurah hati mengangkat saudaranya sendiri Louis Bonaparte, menjadi raja Belanda. Raja mengirim ke Hindia Belanda salah seorang pahlawan dan pemimpin renolusi belanda, Marsekal H.W. Daendels, seorang pengagum Napoleon, untuk memperbaiki pemerintahan Kompeni (yang telah berakhir tahun 1799), yang telah diambil alih oleh pemerintah Belanda. Daendels menganggap dirinya sebagai Napoleon kecil, yang harus memperbaiki pemerintahan Kompeni yang korup dengan sistem prokonsulnya atau petualang-petualang yang memperkaya diri, dan bukan pejabat-pejabat di bawah satu hirarki birokrasi, seperti yang dikehendaki Napoleon sebagai suatu syarat negara modern. Walaupun gaji Residen Cirebon pada waktu itu diperkirakan sebanyak 25.000 ringgit setahun, Daendels menggajinya 17.000 ringgit setahun, sama dengan residen-residen yang lain.
Beras, kapas, nila, lada, kayu, gula, kacang-kacangan dan sebagainya yang dihasilkan oleh rakyat dibeli oleh residen-residen itu dengan harga serendah mungkin. Hasil padi misalnya, sebanyak 300 koyang setahun atau 1.350.000 kg dibeli dengan harga sangat rendah, 25 ringgit satu koyangnya. Tiap produk yang berharga untuk pasaran dikuasai oleh residen, dan dibayar dengan mata uang yang sudah merosot nilainya. Desa-desa secara keseluruhan disewakan kepada orang-orang Cina, yang memungut pajak, menjual candu, dan menguasai tenaga kerja. Untuk menutup mulut pejabat di Batavia, para residen membagi barang rampasannya dengan beberapa pejabat di Batavia. Para residen Cirebon bahkan menyerahkan tenaga kerja rodi ke Batavia sebanyak 200 orang atau lebih setahun. Kemiskinan dan pemerasan lewat pajak dan cara-cara lain menimbulkan suatu kejahatan sosial, ialah perbudakan manusia atau menjual diri dan keluarga ke dalam perbudakan.
Terjadinya penjualan diri untuk menjadi budak secara besar-besaran menggelisahkan orang Belanda, dan walaupun tidak sama sekali menutup mata terhadap kesalahan diri sendiri, namun para Sultan dan pangeran dipersalahkan atas penderitaan penduduk ini. Sejumlah besar pengikut sultan-sultan dan keluarga mereka merupakan beban berat bagi kaum tani, terutama dalam perjalanan-perjalanan mereka ke desa-desa. Dan para pangeran masih dianggap miskin oleh orang Belanda, yang mengatakan bahwa pangeran-pangeran ini tidak tinggal dalam istana-istana terbuat dari batu, melainkan hanya dari kayu saja. Mungkin ini hanya penilaian Belanda berdasarkan atas pendapat mereka mengenai gaya dan konsepsi mengenai kemewahan, dan bukan atas kenyataan-kenyataan di Cirebon. Sebab siapapun yang melihat hasil ukiran kayu dan arsitektur batu Cirebon, akan mengagumi keindahannya. Diperkirakan bahwa para residen pada abad ke-18 mendapatkan 60.000 ringgit setahunnya. Yang paling serakah, Graf van Hogendorp, mendapat 100.000 ringgit tiap tahun. Walaupun demikian, residen-residen itu mempunyai staf kulit putih yang sangat kecil, terdiri atas beberapa orang, dan untuk mendapat keuntungan-keuntungan mereka sangat tergantung kepada bantuan dan kerjasama para bangsawan pribumi. Sebagai imbalan, mereka mendapatkan segala perlindungan dari kompeni.
Di tengah-tengah kemajuan kebudayaan istana Cirebon pada abad ke-18, seperti yang terlihat pada ukiran kayu dan kesenian batik, dan kemewahan residen-residen Belanda, diantaranya Graf van Hogendorp yang memelihara 16 orang pemain musik yang harus main pada tiap waktu makan, rakyat dilanda bencana wabah penyakit dan kelaparan. Tahun-tahun 1719, 1721, 1729, 1756, 1757, 1773, 1775, 1776, 1792, dan 1812 merupakan tahun-tahun bencana kelaparan dan wabah penyakit bagi rakyat Cirebon. Suatu laporan dari tahun 1765 mengisahkan bahwa tidak ada perdagangan antara kaum pribumi, yang telah demikian miskin dan habis kekuatan mereka karena eksploitasi dan bencana alam. Dalam wabah tahun 1773 dan 1775, di kota Cirebon setiap hari 50 orang meninggal dunia. Menurut suatu laporan Belanda, dalam tahun 1806 berkurangnya penduduk dan surutnya kedudukan Sultan, bahkan menyebabkan Sultan-sultan ini tidak lagi mempunyai pembantu-pembantu. Pelabuhan Cirebon pada akhir abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 menjadi demikian tidak sehatnya, sehingga residen harus memindahkan markas besarnya ke tempat lain, pemerintahan Belanda pada umumnya hancur setelah Van Hogendorp yang serakah itu.
Barangkali pemerintahan Van Hogendorp di Cirebon merupakan yang paling buruk dalam sejarah daerah itu selama pemerintahan lama kompeni. Waktu Van Hogendorp pulang ke negri Belanda, kapalnya tenggelam karena terlalu banyak memuat barang rampasannya dari Hindia Belanda, demikian menurut gunjingan orang pada waktu itu.
Namun, perubahan-perubahan sampai juga di Cirebon, Perubahan ini datang karena kejadian-kejadian di negri Belanda dan Eropa. Pada akhir tahun 1790-an revolusi Prancis sampai di Negri Belanda, yang menjadi Bataafsche Republiek di bawah naungan Prancis. Namun Prancis jatuh di bawah hipnose 'Prajurit Revolusi' dan kaisarnya, Napoleon Bonaparte, yang bermurah hati mengangkat saudaranya sendiri Louis Bonaparte, menjadi raja Belanda. Raja mengirim ke Hindia Belanda salah seorang pahlawan dan pemimpin renolusi belanda, Marsekal H.W. Daendels, seorang pengagum Napoleon, untuk memperbaiki pemerintahan Kompeni (yang telah berakhir tahun 1799), yang telah diambil alih oleh pemerintah Belanda. Daendels menganggap dirinya sebagai Napoleon kecil, yang harus memperbaiki pemerintahan Kompeni yang korup dengan sistem prokonsulnya atau petualang-petualang yang memperkaya diri, dan bukan pejabat-pejabat di bawah satu hirarki birokrasi, seperti yang dikehendaki Napoleon sebagai suatu syarat negara modern. Walaupun gaji Residen Cirebon pada waktu itu diperkirakan sebanyak 25.000 ringgit setahun, Daendels menggajinya 17.000 ringgit setahun, sama dengan residen-residen yang lain.
Di Cirebon sendiri
terjadi semacam revolusi yang lain. Keadaan yang tidak stabil, yang
oleh orang Belanda disebut kejahatan dan kerusuhan, telah mengganggu
Cirebon sepanjang abad ke-18. Gerombolan-gerombolan perampok atau
pemberontak merajalela, sulit untuk membedakan antara politik dan
kejahatan, yang menghancurkan daerah-daerah Cirebon yang agak terpencil.
Pendeknya, ketidaktenteraman selalu terdapat di sana. Pada akhir abad
ke-18 ketidakpuasan dan kejahatan menemukan titik pusat. Pada tahun 1798
seorang Sultan Kanoman, tidak sesuai tradisi lama, telah mendahulukan
putra kesayangannya untuk menaiki tahta melampaui ahli waris yang sah.
Keadaan mungkin masih bisa dikendalikan seandainya ahli waris yang
ditunjuk, Sultan yang baru, tidak menyia-nyiakan kakaknya, yang hidup
dalam kemiskinan. Hal ini menyakitkan hati para bangsawan dan pemuka di
Cirebon. Mereka mengajukan protes terhadap keadaan ini. Bahkan
orang-orang dari Kasepuhan ikut mempersoalkan putra yang telah dicabut
hak warisnya. Jadi, mungkin yang menyebabkan orang-orang berontak bukan
soal sah atau tidak sahnya, melainkan pencabutan hak waris antara semua
kelas yang menimbulkan kemarahan mereka, dan membuat mereka
mengidentifikasikan diri dengan persoalan pangeran yang dicabut
hak-haknya. Pendeknya, pada tahun 1804 para petani Cirebon langsung
menuju ke Batavia, yang mereka anggap sebagai sumber utama dari segala
kejahatan yang menimpa mereka, sedangkan yang menarik perhatian dan
memang tepat sekali, untuk sementara mereka tidak mempedulikan keadaan
di Cirebon. Sayang sekali bagi orang-orang yang memprotes, mereka
dihalau di Karawang. Dalam pada itu, para petani mengusir Cina-cina dari
daerah pedalaman, para pemegang kontrak atas desa mereka. Sebenarnya
kejadian-kejadian tersebut merupakan yang paling hebat dari
pemberontakan-pemberontakan pada permulaan tahun 1800-an, yang terkenal
sebagai 'Pemberontakan-pemberontakan Cirebon'. Pemberontakan berakhir
pada tahun 1819, dan secara kecil-kecilan terjadi lagi pada tahun 1825.
Pada tahun 1806, dicoba diadakan perjanjian perdamaian antara para pemberontak dan orang-orang Belanda, yang mengembalikan Pangeran Kanoman, yang dicabut hak warisnya, dari pembuangannya di Ambon, yang mendapatkan kedudukan tinggi di Cirebon dan mendapatkan tanah. Belanda menyanggupi untuk menjauhkan orang-orang Cina dari desa-desa, menghentikan eksploitasi dan penyalahgunaan yang paling buruk, dan beberapa janji lainnya. Namun pemberontakan terus berlangsung, kadang-kadang di bawah pimpinan orang-orang terkenal dan kadang-kadang diadakan oleh gerombolan-gerombolan tersebar di sana-sini. Perang Cirebon mencapai titik puncak selama pemerintahan Inggeris pada tahun 1811-1812.
Di samping pemberontak-pemberontak Cirebon, Belanda di bawah Daendels menghadapi perang lain lagi, ialah perang melawan Inggeris yang menentang Eropa di bawah Napoleon. Pada tahun 1811 orang-orang Inggeris berhasil mendarat di Jawa dan mengalahkan tentara Belanda. Banyak pasukan pribumi dalam tentara Belanda bercerai-berai di pedalaman, dan mulai beroperasi sendiri-sendiri. Di Cirebon seorang bangsawan, Bagus Rangin berhasil menghimpun gerombolan-gerombolan yang berkeliaran ini dan memimpin pemberontakan untuk menghalau semua orang asing dan menghentikan penyalahgunaan. Beliau mungkin pemimpin pemberontak yang paling besar di Cirebon, dan pada suatu saat dikabarkan telah menghimpun pasukan pemberontak sebanyak 2000 orang bersenjata api. Pada tahun 1812 orang-orang Inggeris sedikit banyak berhasil menundukkan pasukan Bagus Rangin dan membendung gelombang besar pemberontakan. Tapi pemberontakan masih tetap membara sampai 1819 di bawah pemimpin yang berbeda-beda dan timbul lagi sebentar pada tahun 1825.
Pada tahun 1806, dicoba diadakan perjanjian perdamaian antara para pemberontak dan orang-orang Belanda, yang mengembalikan Pangeran Kanoman, yang dicabut hak warisnya, dari pembuangannya di Ambon, yang mendapatkan kedudukan tinggi di Cirebon dan mendapatkan tanah. Belanda menyanggupi untuk menjauhkan orang-orang Cina dari desa-desa, menghentikan eksploitasi dan penyalahgunaan yang paling buruk, dan beberapa janji lainnya. Namun pemberontakan terus berlangsung, kadang-kadang di bawah pimpinan orang-orang terkenal dan kadang-kadang diadakan oleh gerombolan-gerombolan tersebar di sana-sini. Perang Cirebon mencapai titik puncak selama pemerintahan Inggeris pada tahun 1811-1812.
Di samping pemberontak-pemberontak Cirebon, Belanda di bawah Daendels menghadapi perang lain lagi, ialah perang melawan Inggeris yang menentang Eropa di bawah Napoleon. Pada tahun 1811 orang-orang Inggeris berhasil mendarat di Jawa dan mengalahkan tentara Belanda. Banyak pasukan pribumi dalam tentara Belanda bercerai-berai di pedalaman, dan mulai beroperasi sendiri-sendiri. Di Cirebon seorang bangsawan, Bagus Rangin berhasil menghimpun gerombolan-gerombolan yang berkeliaran ini dan memimpin pemberontakan untuk menghalau semua orang asing dan menghentikan penyalahgunaan. Beliau mungkin pemimpin pemberontak yang paling besar di Cirebon, dan pada suatu saat dikabarkan telah menghimpun pasukan pemberontak sebanyak 2000 orang bersenjata api. Pada tahun 1812 orang-orang Inggeris sedikit banyak berhasil menundukkan pasukan Bagus Rangin dan membendung gelombang besar pemberontakan. Tapi pemberontakan masih tetap membara sampai 1819 di bawah pemimpin yang berbeda-beda dan timbul lagi sebentar pada tahun 1825.
Suatu aspek sejarah Cirebon
yang luar biasa adalah bahwa jikalau permulaan abad ke-19 penuh dengan
pembangkangan heroik melawan ekonomi kolonial yang masuk ke dalam,
sebaliknya pembangkangan ini hilang lenyap selama tahun-tahun berikutnya
dalam abad itu. Tiba-tiba daerah itu menjadi seolah-olah yang paling
damai dari semua distrik di Jawa. Padahal di sini juga tuntutan sistem
tanam paksa dari 1830-1870, yang mempunyai perkebunan-perkebunan negara
kolonial di seluruh Jawa, sangat menekan rakyat dalam bentuk tenaga
kerja dan penggunaan tanah. Dari laporan-laporan dapat diketahui,
bagaimana pemilikan tanah para petani dihancurkan oleh ekonomi
perkebunan.
Mengenai sejarah politik dan pemerintahan Cirebon, abad ke-19 juga mendatangkan perubahan-perubahan dan penyesuaian dengan politik dan pemerintahan langsung Negeri Belanda. Pengangkatan kembali sultan Kanoman pada tahun 1806 tidak berhasil mengakhiri pemberontakan-pemberontakan. Pada tahun 1809, H.W. Daendels mengakhiri status khusus dari sultan-sultan dan pangeran-pangeran dari Cirebon sebagai kekuasaan setengah merdeka. Daendels memutuskan bahwa Cirebon menjadi suatu propinsi pemerintah (dengan arti Hindia Timur Belanda), dan para sultan dinyatakan sebagai abdi negara Hindia Timur, dan kekuasaan politik apa pun yang masih ada pada mereka ditempatkan di bawah pengawasan Belanda. Perubahan-perubahan yang diadakan oleh Daendels tidak diperinci lebih lanjut dan tidak berarti banyak, karena sejak lama para sultan tidak ada keinginan untuk menjalankan kekuasaan mereka, atau mereka menggunakannya dengan cara lain atau untuk tujuan lain daripada Belanda. Pendeknya, tidak ada yang menentang atau kelihatan adanya kesulitan sebagai akibat tindakan Belanda yang sewenang-wenang itu. Raffles, pejabat Inggris yang menggantikan Gubernur Jenderal Belanda, melangkah lebih jauh lagi. Ia memberikan kepada para sultan tanah persawahan bebas pajak yang ditentukan secara jelas, dan memberikan kepada Sultan Kasepuhan dan Sultan Kanoman suatu subsidi uang masing-masing sebesar 8000 rupee setahun. Ketika Belanda kembali di Jawa (1819) setelah Napoleon jatuh, dan setelah perjanjian perdamaian Kongres Wina, Belanda mengesahkan keadaan yang diciptakan oleh Daendels dan Raffles. Kedudukan politik para sultan dihapuskan, tetapi tiap sultan (Kasepuhan dan Kanoman) menerima subsidi uang sebesar 18.000 gulden setahun. Sultan-sultan pertama yang "digaji" wafat pada tahun 1845 dan 1851. Kira-kira 30 tahun kemudian, Cirebon menjadi suatu residensi 'Hindia Belanda' seperti residensi-residensi lainnya di bawah pemerintahan langsung Belanda, tetapi pemerintahan langsung ini berarti, bahwa pejabat-pejabat Belanda, seperti residen dan asisten residen, pada tingkat distrik semua dibantu oleh kepala-kepala pemerintahan pribumi (pangreh praja) yang dipimpin oleh seorang bupati. Bupati-bupati Cirebon pada abad-abad ke-19 dan ke-20 bahkan tidak diambil dari keluarga sultan, melainkan dari tempat lain, dan jika ada bupati yang berasal dari keluarga sultan, maka ini hanya kebetulan saja dan tidak disengaja. Para sultan Cirebon malahan mengundurkan diri ke dalam istana-istana mereka, dan menjadi pelindung kesenian tradisional mengukir kayu, membuat wayang dan membatik.
Tidaklah terlampau aneh bahwa penghapusan kekuasaan politik para sultan memungkinkan mereka untuk mencurahkan perhatian kepada pengembangan seni dan budaya. Bukannya kebudayaan istana sendiri, melainkan mendorong kesenian tradisional di desa-desa dan di antara orang-orang yang tinggal di atas tanah sultan. Bidang inilah yang mengembalikan sebagian pengaruh dan prestise keluarga sultan di mata rakyat Cirebon. Menyadari bahwa para sultan tidak dapat dibebani tanggung jawab atas kesengsaraan yang mereka derita, maka penduduk di desa-desa barangkali pertama-tama tidak mengindahkan mereka. Tetapi kemudian, waktu kolonialisme makin menyerbu ke dalam desa-desa dan masyarakat, orang-orang mulai memihak kepada sifat-sifat khusus kebudayaan istana Cirebon dan kharisma keagamaan sultan sebagai keturunan wali keramat, Sunan Gunung Jati. Kemudian, istana sekali lagi menjadi pusat bagi rakyat. Di Cirebon rupanya tradisi istana untuk memberi dorongan kepada kesenian di luar tembok istana telah menciptakan hubungan yang kokoh dengan para petani. Usaha rakyat untuk menemukan kembali kepribadian mereka selama penetrasi kolonialisme dan pembaratan memungkinkan terjadinya hubungan ini. Dengan demikian, apa yang telah dilepaskan oleh para sultan kepada Belanda dalam bentuk material, telah kembali pada mereka dalam bentuk spiritual.....
Mengenai sejarah politik dan pemerintahan Cirebon, abad ke-19 juga mendatangkan perubahan-perubahan dan penyesuaian dengan politik dan pemerintahan langsung Negeri Belanda. Pengangkatan kembali sultan Kanoman pada tahun 1806 tidak berhasil mengakhiri pemberontakan-pemberontakan. Pada tahun 1809, H.W. Daendels mengakhiri status khusus dari sultan-sultan dan pangeran-pangeran dari Cirebon sebagai kekuasaan setengah merdeka. Daendels memutuskan bahwa Cirebon menjadi suatu propinsi pemerintah (dengan arti Hindia Timur Belanda), dan para sultan dinyatakan sebagai abdi negara Hindia Timur, dan kekuasaan politik apa pun yang masih ada pada mereka ditempatkan di bawah pengawasan Belanda. Perubahan-perubahan yang diadakan oleh Daendels tidak diperinci lebih lanjut dan tidak berarti banyak, karena sejak lama para sultan tidak ada keinginan untuk menjalankan kekuasaan mereka, atau mereka menggunakannya dengan cara lain atau untuk tujuan lain daripada Belanda. Pendeknya, tidak ada yang menentang atau kelihatan adanya kesulitan sebagai akibat tindakan Belanda yang sewenang-wenang itu. Raffles, pejabat Inggris yang menggantikan Gubernur Jenderal Belanda, melangkah lebih jauh lagi. Ia memberikan kepada para sultan tanah persawahan bebas pajak yang ditentukan secara jelas, dan memberikan kepada Sultan Kasepuhan dan Sultan Kanoman suatu subsidi uang masing-masing sebesar 8000 rupee setahun. Ketika Belanda kembali di Jawa (1819) setelah Napoleon jatuh, dan setelah perjanjian perdamaian Kongres Wina, Belanda mengesahkan keadaan yang diciptakan oleh Daendels dan Raffles. Kedudukan politik para sultan dihapuskan, tetapi tiap sultan (Kasepuhan dan Kanoman) menerima subsidi uang sebesar 18.000 gulden setahun. Sultan-sultan pertama yang "digaji" wafat pada tahun 1845 dan 1851. Kira-kira 30 tahun kemudian, Cirebon menjadi suatu residensi 'Hindia Belanda' seperti residensi-residensi lainnya di bawah pemerintahan langsung Belanda, tetapi pemerintahan langsung ini berarti, bahwa pejabat-pejabat Belanda, seperti residen dan asisten residen, pada tingkat distrik semua dibantu oleh kepala-kepala pemerintahan pribumi (pangreh praja) yang dipimpin oleh seorang bupati. Bupati-bupati Cirebon pada abad-abad ke-19 dan ke-20 bahkan tidak diambil dari keluarga sultan, melainkan dari tempat lain, dan jika ada bupati yang berasal dari keluarga sultan, maka ini hanya kebetulan saja dan tidak disengaja. Para sultan Cirebon malahan mengundurkan diri ke dalam istana-istana mereka, dan menjadi pelindung kesenian tradisional mengukir kayu, membuat wayang dan membatik.
Tidaklah terlampau aneh bahwa penghapusan kekuasaan politik para sultan memungkinkan mereka untuk mencurahkan perhatian kepada pengembangan seni dan budaya. Bukannya kebudayaan istana sendiri, melainkan mendorong kesenian tradisional di desa-desa dan di antara orang-orang yang tinggal di atas tanah sultan. Bidang inilah yang mengembalikan sebagian pengaruh dan prestise keluarga sultan di mata rakyat Cirebon. Menyadari bahwa para sultan tidak dapat dibebani tanggung jawab atas kesengsaraan yang mereka derita, maka penduduk di desa-desa barangkali pertama-tama tidak mengindahkan mereka. Tetapi kemudian, waktu kolonialisme makin menyerbu ke dalam desa-desa dan masyarakat, orang-orang mulai memihak kepada sifat-sifat khusus kebudayaan istana Cirebon dan kharisma keagamaan sultan sebagai keturunan wali keramat, Sunan Gunung Jati. Kemudian, istana sekali lagi menjadi pusat bagi rakyat. Di Cirebon rupanya tradisi istana untuk memberi dorongan kepada kesenian di luar tembok istana telah menciptakan hubungan yang kokoh dengan para petani. Usaha rakyat untuk menemukan kembali kepribadian mereka selama penetrasi kolonialisme dan pembaratan memungkinkan terjadinya hubungan ini. Dengan demikian, apa yang telah dilepaskan oleh para sultan kepada Belanda dalam bentuk material, telah kembali pada mereka dalam bentuk spiritual.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar