Pada tanggal 16 agustus 1945 terjadi penempelan kertas selebaran di pohon-pohon pinggir jalan sepanjang jalan utama Desa Waled, Cirebon. Isi selebaran itu berupa pernyataan kemerdekaan, yang diatur oleh orang-orang gerakan bawah tanah, diprakarsai oleh dr. Sudarsono, Sugra, Sukanda, Rayati dan Kartamuhari. Mereka kemudian berpawai hingga Desa Ciledug dengan penduduk dari desa-desa sekitarnya sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan dan meneriakkan kata-kata "Merdeka!".
Bung Syahrir yang mengetahui bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 menyampaikan kabar tersebut kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Kedatangan Syahrir ke rumah Hatta pada tanggal 15 Agustus pukul dua siang itu membuat Hatta agak terkejut karena pemberitahuan Syahrir. Syahrir minta agar proklamasi segera dilakukan. BUng Hatta sangsi apakah ia bisa melakukannya bersama Bung Karno sebelum diperoleh kepastian dari pihak Jepang sendiri. Bung Karno yang ditemui di Pegangsaan Timur 56 merasa tidak berhak bertindak sendiri karena itu adalah hak dan tugas PPKI. Menurut pengakuan Subadio Sastrosatomo, Syahrir nampak marah sekembalinya menghadap Bung Karno dan Bung Hatta. Petang itu pula Subadio dan Subianto Djojohadikusumo disuruh menghubungi kembali Bung Hatta, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya, tidak bisa bertindak tanpa Bung Karno.
Pada tanggal 16 Agustus sekitar pukul 03.00 dini hari, waktu orang sedang makan sahur, Sukarno dan Hatta diajak Sukarni dan kawan-kawan dari barisan pemuda ke Rengasdengklok, Karawang. Bersamaan dengan itu, Sutan Syahrir mengirim kurir untuk membaw teks proklamasi ke wilayah yang memiliki jaringan gerakan bawah tanah. Menurut Ny. Poppy Syahrir sebelum Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, Bung Syahrir telah menyusun naskah teks proklamasi dan disetujui oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Ibu Poppy mengutip pernyataan Sutan Syahrir ketika diwawancarai oleh "Star Weekly" sebuah mingguan di Jakarta sebagaimana yang diingat (baca harian "Terbit", Jum'at 24 April 1986,"Teks Proklamasi Pertama dibacakan di Desa Waled").
Kegagalan mendesak Bung Karno dan Bung Hatta menyebabkan pengiriman naskah lewat kurir tidak bisa memberitahukan perubahan/penundaan saat proklamasi. "Cirebon mungkin satu-satunya tempat dimana orang-orang gerakan bawah tanah membacakan teks proklamasi tersebut dan ini dibacakan oleh dr. Sudarsono (Mendagri dalam Kabinet Syahrir)", kata Ny. Poppy. Wartawan tiga zaman, H. Rosihan Anwar, pernah juga menulis di Pos Kota tanggal 8 Juni 1976 (dua hari setelah wafatnya dr. Sudarsono) bahwa dr. Sudarsono adalah Proklamator di Cirebon. Sutan Syahrir juga mengungkapkan hal itu dalam buku "Out of Exile" terbitan John Day Company New York tahun 1949, yang berisi kumpulan Surat-surat Sutan Syahrir ketika ia dibuang di Boven Digul.
Menurut Kusnaini, mantan anggota KNIP dan Wakil Residen Jakarta yang berkedudukan di Subang sejak tahun 1946-1950, "Proklamasi di Waled lebih dulu dibanding Cirebon, karena boleh dikata Waled yang memulai kemudian Cirebon menyusul. Menurut Sukanda, mantan anggota KNIP dan anggota gerakan bawah tanah Cirebon, sejak tahun 1932 Syahrir telah menjalin hubungan dengan Cirebon, khususnya desa Waled dan memiliki jaringan gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh Sugra dan dr. Sudarsono. "Keduanya memang tidak bisa dipisahkan dan keduanya pernah menjadi anggota Jong Java". "Sudarsono bersama saya ketika menerima teks proklamasi dari Sutan Syahrir. Kami berdua yang membawanya ke Cirebon". "Naskah diperbanyak di waled dan mengerahkan anggota KRI (Koperasi Rakyat Indonesia) untuk memasangnya, termasuk memasang bendera merah putih. Bendera itu dipasang sampai Majalengka dan seluruh Karesidenan Cirebon. Sesudah itu banyak orang ditangkap, termasuk Ki Munirah di Jatiwangi yang ikut menyuruh pasang bendera merah putih. Sudarsono juga ditangkap Jepang tapi kemudian dibebaskan karena didemonstrasi rakyat". Ny. Sudarsono dan Ny. Poppy Syahrir juga membenarkan bahwa ada proklamasi di Cirebon pada tanggal 16 Agustus 1945 dan banyak kertas plakat yang ditempel di pohon-pohon sepanjang jalan.
Syahrir, Suwandi, dan Sudarsono
Sejarawan Amerika dari Cornell University, George Kahin, yang menulis buku "Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (1945)" menulis dalam bukunya bahwa Proklamasi di Cirebon itu terlalu dini. Sementara itu Subadio Sastrosatomo, bekas anggota KNIP yang meminjamkan pulpennya kepada Sutan Syahrir untuk menulis naskah teks proklamasi tersebut mengatakan hal itu berlangsung pada tanggal 15 Agustus 1945 di rumah Syahrir di Jl. Maluku, Jakarta Pusat.("Terbit" 30 April 1986, "Peristiwa Rengasdengklok lebih penting dari Cirebon"). Subadio mengatakan naskah tersebut ditandatangani Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Syahrir. Ketika Sutan Syahrir menemui Bung Karno dan Bung Hatta, Subadio menghubungi golongan pemuda untuk mempersiapkan upacara kemerdekaan. Sore hari tanggal 15 itulah Subadio menyaksikan saat Syahrir dalam keadaan amat marah. Bung Karno dan Bung Hatta tetap tidak mau memproklamirkan kemerdekaan secepat yang diminta Syahrir. Padahal Syahrir telah mengirim salinan naskah proklamasi itu lewat kurir ke daerah yang memiliki jaringan gerakan bawah tanah. Ditambah Bung Karno dan Bung Hatta malam harinya diculik "Pemuda Menteng 31" upaya Syahrir untuk memberitahukan penundaan pembacaan proklamasi tidak lagi terburu. Jadilah di Cirebon ada proklamasi tanggal 16 Agustus 1945 Teks proklamasi buatan Syahrir tersebut tak demikian jelas di mana sekarang adanya.
Dalam buku Rudolf Mrazek berjudul Sjahrir, Syahrir mengatakan teks proklamasinya diketik sepanjang 300 kata. Teks itu bukan berarti anti-Jepang atau anti-Belanda. "Pada dasarnya menggambarkan penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang dan rakyat Indonesia tidak mau diserahkan ke tangan pemerintahan kolonial lain," kata Syahrir seperti ditulis dalam buku Mrazek. Syahrir pun mengatakan kehilangan teks proklamasi yang disimpannya.
Selain mempersiapkan proklamasi, Syahrir dengan semangat tinggi mengerahkan massa menyebarkan "virus" proklamasi. Stasiun Gambir dijadikan arena untuk berdemonstrasi. Stasiun radio dan kantor polisi militer pun sempat akan diduduki. Kala itu, Des Alwi dan sekelompok mahasiswa bergerak hendak membajak stasiun radio Hoosoo Kyoku di Gambir agar teks proklamasi tersebar. Usaha tersebut gagal karena Kenpeitai menjaga rapat stasiun radio tersebut.
Tapi simpul-simpul gerakan bawah tanah terus bergerak cepat, menderu-deru dari satu kota ke kota lain, menyampaikan pesan Syahrir. Dan keinginan Syahrir agar proklamasi Indonesia segera didengungkan itu pun sampai di Cirebon.
TUGU berwarna putih dengan ujung lancip menyerupai pensil itu berdiri tegak di tengah jalan di dekat alun-alun Kejaksan, Cirebon. Tugu yang sama, dengan tinggi sekitar tiga meter, menancap di halaman Kepolisian Sektor Waled di kota yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar