Senin, 02 Juni 2014

PERANG CIREBON

Kira-kira tahun 1761, di Rajagaluh, suatu daerah yang menjadi bawahan Majalengka Tengah dilahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Bagus Rangin. Ayahnya termasuk salah seorang ulama yang mumpuni ilmunya yang bernama Kiai Sentayem. Sejak kecil Bagus Rangin dididik di lingkungan yang kental dengan nuansa keagamaan. Sehingga pada saat beranjak dewasa oleh ayahnya dibekali dengan ilmu agama dan pengetahuan umum, juga ilmu keperwiraan seperti pencak silat atau main po sebagaimana kebiasaan para pemuda pada jaman itu. Bagus Rangin berguru lagi kepada Rama Banten, terutama dalam hal menyelami ilmu agama yang bertalian dengan tarekat dan ilmu tasawuf. Memang dari remaja Bagus Rangin gemar melakukan tirakat dan membekali diri untuk lebih mendekatkan diri dengan Sang Penciptanya dan mengembangkan kepribadiannya.
Pada masa itu Bagus Rangin sangat terkenal dan menjadi pembicaraan di pusat pemerintahan di Cirebon. Sehingga Sultan Cirebon mengangkat Bagus Rangin menjadi pemimpin daerah kebagusan Jatitujuh, kira-kira 30 kilometer sebelah utara kota Majalengka atau 70 kilometer sebelah barat kota Cirebon, dekat perbatasan dengan daerah Indramayu dan Sumedang. Pangkatnya adalah Senapati. Di alun-alun Jatitujuh ditanami tujuh buah pohon jati, itu sebabnya dinamakan Jatitujuh.
Bagus Rangin muncul sebagai pemimpin yang disegani dan dihormati oleh rakyatnya. Namanya harum tidak hanya di daerahnya di Jatitujuh saja tapi menyebar hingga ke seputarannya seperti Kandanghaur, Indramayu, Lohbener, Palimanan, Rajagaluh, Talaga dan Kuningan.
Sejak tahun 1677 kekuasaan kesultanan Cirebon di bagi-bagi ke para putra Panembahan Girilaya yaitu Sultan Sepuh (Kasepuhan), Sultan Anom (Kanoman) dan diteruskan ke Sultan Cirebon (Kacirebonan). Kekuasaan Kompeni Belanda juga masuknya ke Cirebon itu tak selang berapa lama dengan dibagikannya kekuasaan kesultanan (1681). Dengan adanya beberapa Sultan di Cirebon maka bagi Kompeni merupakan suatu keuntungan besar, sejalan dengan kebijakan strategi politik adu domba (devide et impera). Mulai dari situ Kompeni mengeruk keuntungan bertambah besar serta semakin luas kekuasaannya. Sedangkan para Sultan di Cirebon semakin menciut kekuasaan dan sumber penghidupannya.
Pada abad ke-18 muncul masalah untuk menentukan siapa yang memegang tampuk kekuasan di Cirebon. Kebanyakan keluarga keraton dan rakyat memilih Raja Kanoman yang memiliki kepribadian yang unggul akan tetapi Belanda memilih calon yang lain. Tak berapa lama (tahun 1802) Raja Kanoman ditangkap Belanda dan dibuang ke Ambon. Calon pilihan Belanda diangkat sebagai Sultan di Cirebon. Sudah tentu rakyat banyak yang memprotes tidak setuju, malah beberapa pemimpinnya menyusun kekuatan untuk memberontak.Berkembanglah ketidaksetujuan rakyat Cirebon, ditambah lagi dengan keadaan hidup yang semakin susah, terutama dikarenakan terhimpit oleh bermacam-macam kewajiban seperti menyerahkan upeti ke pejabat, membayar macam-macam pajak (pajak tanah, pajak hasil tani, pajak hasil niaga dll), serta menjalani kerja paksa dan kerja desa. Terlebih setelah tanah negara di desa-desa banyak yang disewakan kepada tuan tanah Belanda dan Cina. Yang disewakan pun tidak hanya tanahnya saja, tapi juga dengan rakyatnya, begitu pula dengan segala fasilitas lainnya seperti jalan, jembatan dan lain-lain. Karena itu kehidupan rakyat semakin sengsara. Hal itu pula yang menyebabkan timbulnya niat rakyat untuk memberontak. Rakyat terus mendesak kepada Bagus Rangin agar memimpin perjuangan mereka. Oleh sebab tidak tahan mendengar rakyat hidup melarat dan menderita, akhirnya Bagus Rangin menyetujuinya.
Bila kejadian di sekitar perjuangan Bagus Rangin dicermati, ada lima peristiwa perang dahsyat yang berkecamuk antara pasukan rakyat Cirebon dengan serdadu Hindia Belanda.
Pertama, diserbunya pendopo kabupaten dan rumah dinasnya Asisten Residen Palimanan pada tahun 1805 oleh pasukan rakyat Palimanan yang dibantu oleh pasukan dari Jatitujuh yang dipimpin oleh Bagus Serit adik dari Bagus Rangin. Dalam peristiwa ini Bupati Palimanan Tumenggung Madenda, Asisten Residen Belanda dan beberapa orang pejabat berikut anggota pasukannya termasuk tuan tanah Cina, tidak berdaya menjadi korban senjata rakyat.
Kedua, dikepungnya pasukan Bagus Rangin yang berpusat di Jatitujuh pada tahun 1806 oleh pasukan serdadu Belanda yang dibantu oleh beberapa pasukan pribumi dari Sumedang, Karawang, Subang, Cirebon dan Madura. Pada saat itu Bagus Rangin sudah dapat mengumpulkan prajurit dari beberapa daerah (Cirebon, Majalengka, Indramayu, Kuningan dan Sumedang) sampai dengan 40.000 orang jumlahnya. Dalam beberapa kali kontak senjata, meninggalkan korban yang tidak sedikit jumlahnya, baik itu dari pasukan Bagus Rangin maupun dari pasukan Belanda. Selain daripada itu, ada juga pasukan Bagus Rangin yang ditangkap, ada yang mundur lalu bersembunyi atau menerobos keluar Jatitujuh. Bagus Rangin sendiri lolos dari kepungan musuh serta terus keluar masuk hutan dengan beberapa anak buahnya. Akhirnya beliau menyepi dan bertirakat di Pasir Luhur, suatu gunung kecil yang sekarang masuk daerah perbatasan antara Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Cilacap. Dari sana beliau mengambil kesimpulan, bahwa sasaran perjuangan harus dirubah, tidak sekedar mendukung Raja Kanoman agar menjadi sultan, karena realitasnya kedudukan Sultan sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Sebisa mungkin harus mendirikan kerajaan sendiri yang mandiri.
Ketiga, berdirinya negara yang diberi nama Pancatengah dengan pusat kotanya di Bantarjati, di samping sungai Cimanuk tak jauh dari Jatitujuh. Kemudian Bagus Rangin mengumpulkan lagi prajurit sambil meyakinkan bahwa dengan berdirinya negara tidak akan ada kerja paksa dan pungutan paksa tapi untuk menegakkan keadilan dan menggapai kesejahteraan. Dukungan dari rakyat bermunculan di mana-mana, baik itu berupa tenaga maupun senjata (terutama bedil), malahan pula bekal makanan dan tempat untuk bernaung para pasukan. Sedangkan Raja Kanoman yang dipulangkan lagi dari pembuangannya serta didudukkan sebagai sultan di Cirebon (1808) hanya dua tahun dari situ diturunkan lagi dari kedudukannya karena dianggap melawan pemerintah kolonial. Upaya Bagus Rangin mengumpulkan pasukan tercium oleh Belanda. Pemerintah kolonial segera menyusun pasukan juga. Bantarjati dikepung dari berbagi arah. Perang berkecamuk, saling serbu sampai lebih dari setahun lamanya (1810 - 1812). Awalnya pasukan Bagus Rangin unggul dalam peperangan di beberapa tempat, seperti mengalahkan pasukan Sumedang (22 Juli 1810), dan pasukan Karawang. Untuk menanggapinya, Gubernur Jenderal menugaskan komisaris Couperus di Cianjur supaya Bupati Cianjur mengirimkan pasukan 500 orang prajurit ke Bantarjati. Selain itu mendatangkan pula pasukan Mangkunegara dari Solo pimpinan Pangeran Mayor Surianegara dan Pangeran Suriadipura. Perang hebat berkecamuk di Bantarjati pada tanggal 16 - 29 Februari 1812. Dari pihak sana sini banyak jatuh korban. Lama kelamaan pasukan Bagus Rangin terdesak. Sekuat tenaga menahan musuh di Pangayonan tapi terdesak lagi. Hingga mundur ke Sindang, terus mundur lagi ke Panongan. Tanggal 27 Juni 1812 Bagus Rangin terkepung sampai akhirnya tertangkap. Untuk sementara rakyat Cirebon terhenti pemberontakannya.
Keempat, pasukan yang meneruskan perjuangan Bagus Rangin muncul lagi (9 Desember 1816) yang dipimpin oleh Bagus Jabin, keponakan Bagus Rangin. Pasukannya berhasil merebut Kandanghaur (sekarang masuk wilayah Kabupaten Indramayu). Ketika Belanda mengepung Kandanghaur, bisa ditahan oleh prajurit Bagus Jabin, malahan Bagus Jabin bertekad hendak menyerang Indramayu. Bantuan pasukan dari Priangan yang dipimpin oleh Residen W.C. van Motman, Bupati Sumedang dan Bupati Limbangan datangnya dari arah barat (Wanayasa), sedangkan bantuan pasukan dari Cirebon, Semarang dan Solo (dipimpin oleh Bupati R.A. Nitidiningrat) muncul dari arah sebelah timur. Sudah barang tentu pasukan Bagus Jabin terhimpit. Untung Bagus Jabin berikut 25 orang prajuritnya bisa lolos dari kepungan musuh, tapi dengan meninggalkan korban tewas lebih dari 100 orang dan yang tertangkap 500 orang. Dari pihak musuh juga 4 orang Belanda dan 11 orang pribumi menemui ajal.
Kelima, pasukan yang dipimpin oleh Bagus Jabin, Bagus Serit dan Nairem yang bersembunyi di Kedongdong menyerbu musuh yang ada di kota Kewedanaan Blandong (Januari 1818). Lalu menyerbu kembali Palimanan untuk membebaskan sahabat-sahabatnya yang sedang dipenjara di situ dan di Rajagaluh. Rumah Asisten Residen berikut termasuk beberapa rumah pejabat Belanda lainnya dibakar. Malah Asisten Residennya (Heijdenrech) dan Bupati Bengawan Wetan R.A. Nitidiningrat yang mengejar pasukan Bagus Serit tewas ditengah perjalanan. Karena peristiwa tersebut, pemerintah Hindia Belanda menyusun prajurit lagi untuk menumpas kerusuhan di Cirebon. Dari Priangan diberangkatkan lagi pasukan, baik itu yang dipimpin oleh Residen Motman maupun yang dipimpin oleh Bupati Sumedang. Yang menjadi prioritas adalah menjaga gudang kopi di Tomo dan Karangsembung. Dari Batavia diberangkatkan pasukan infanteri pimpinan Letnan Kolonel Richemont menggunakan kapal laut ke pelabuhan Cirebon. Dari Bogor diberangkatkan pasukan Benggala dan pasukan kuda (kavaleri) pimpinan Halshuher van Harloch. Kapal meriam nomer tujuh berlayar menuju ke pelabuhan Cirebon dipimpin oleh Letnan W.H. Hunter. Satu detasemen pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Courvreur diberangkatkan dari Semarang. Untuk mengepung pasukan yang memberontak, markas pasukan dari Priangan dan Bogor ditetapkan di Karangsembung. Markas pasukan dari Batavia dan Semarang di Cirebon, markas pasukan lainnya di Indramayu. Tanggal 1 Februari 1818 seluruh pasukan Belanda dengan semua pendukungnya memulai bergerak untuk mengepung dan menyerang pasukan Bagus Jabin yang sudah tersebar di Kedongdong dan sekitarnya. Tapi pasukan Bagus Jabin dan Nairem bisa menahan, malah terus menguber-uber pasukan Belanda sampai ke Palimanan serta beberapa orang perwira serdadu Belanda menemui ajal, seperti Kapten Kalberg dan Letnan Wessel.
Tapi terjangan pasukan Bagus Jabin bisa ditahan oleh pasukan Benggala dan Kavaleri dari Bogor. Seminggu kemudian (9 Februari), pasukan Bagus Jabin terdesak sehingga mundur sampai ke seberang cabang sungai Cimanuk. Tanggal 13 Februari, pasukan Bagus Jabin tidak berkutik lagi. Tanggal 25 Februari Nairem tertangkap. Karena itu, pada bulan Maret praktis daerah Kedongdong, Blandong, Palimanan dan Rajagaluh sudah aman lagi. Meskipun pada bulan Juli ada pemberitaan di Kewedanaan Talaga timbul perlawanan rakyat lagi yang dipimpin oleh Rama Gusti dan pada tanggal 6 Agustus daerah Palimanan diserang oleh pasukan Bagus Serit, tapi kekuatannya sudah tak seberapa sehingga mudah sekali ditumpas. Akan tetapi pada tanggal 8 Agustus 1818, pasukan Bagus Serit sempat mengobrak-abrik musuh di dekat Sumber sampai dengan Kapten Krieger hampir saja menemui ajalnya. Akhirnya Bagus Serit bisa ditangkap dengan cara dicurangi dan diliciki. Bagus Serit dan Nairem dihukum mati. Sejak itu, di daerah Cirebon tidak ada lagi pemberontakan.
Bila kita cermat menyikapi dan membanding-bandingkan dengan daerah-daerah lainnya, perjuangan rakyat di daerah Cirebon yang awalnya digaungkan dan dikomandoi oleh Bagus Rangin memiliki ciri-ciri yang dinamis dan mandiri, diantaranya:
1.  Perjuangan rakyat murni melawan kekuasaan kolonial yang pertama di pulau Jawa. Tujuannya untuk membela nasib dirinya sendiri dari kesewenang-wenangan bangsa asing untuk menggapai kehidupan yang sejahtera.
2.  Waktu perjuangannya tidak sebentar, hampir 20 tahun lamanya (1802 - 1819) serta mengalami tiga kali perubahan pemerintah kolonial, yaitu dari pemerintah Kompeni Belanda (VOC) ke pemerintah Hindia Belanda (1800), pemerintah Inggeris (1811) dan kembali lagi ke pemerintah Hindia Belanda (1816).
3.  Wilayah perjuangannya terhitung luas, mengurung hampir keseluruhan wilayah Kesultanan Cirebon yaitu yang sekarang dinamakan Kabupaten Majalengka, Indramayu, Kuningan dan Cirebon, malah ditambah dengan Kabupaten Sumedang dan Subang.
4.  Mengalami perubahan sasaran perjuangan, yang tadinya mendukung tokoh calon Sultan yang unggul dan belas kasih ke rakyat (Raja Kanoman) menjadi bertekad mendirikan negara sendiri (Pancatengah), dikarenakan sasaran awal dianggap tak akan berhasil.
5.  Ideologi perjuangannya berdasarkan ajaran agama Islam, terutama yang terkait dengan Tarekat dan Tasawuf.
Demikianlah, Bagus Rangin adalah pemimpin rakyat di daerah Cirebon pada awal abad ke-19. Beliau juga menggelorakan dan memimpin perjuangan melawan penjajah dan antek-anteknya. Sepintas beliau seperti bukan orang Cirebon. Malahan terasa lebih mirip nama orang Banten, karena memakai kata Bagus dalam namanya. Begitu pula nama saudara-saudara dan sahabat-sahabat seperjuangannya, seperti Bagus Jabin, Bagus Serit, Bagus Bulun, Bagus Wangsa, Bagus Asidin, Bagus Brata, Bagus Wariem, Bagus Sanda, Bagus Arisem, Bagus Jaman, Bagus Suara dan Bagus Narim yang berada di berbagai tempat. Mungkin "Bagus" adalah nama khusus ada jaman itu di daerah tersebut. Karena sebelum dan sesudahnya tidak diceritakan ada tokoh di daerah itu yang memakai kata Bagus. Pada masa itu mungkin terkait dengan pengaruh gurunya yang berasal dari Banten, terkenal dengan sebutan Ama Banten atau Rama Banten..***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar